Jakarta tidak pernah sesunyi ini. Sejak peristiwa 6 bulan lalu, kota yang terkenal dengan keramaian dan kepadatannya ini berbalik jadi tempat tanpa penghuni. Tidak ada lagi kemacetan, kesibukan, apalagi aktivitas. Hanya manusia terpilih dan terkuatlah yang bisa bertahan sejauh ini. Berjuang melawan infeksi, hingga tetap bisa hidup meski dengan ancaman hebat yang selalu mempertaruhkan nyawa setiap harinya.
Semua bermula ketika bahan kimia di sebuah pabrik meledak, menewaskan puluhan pekerjanya malam itu yang menjadi berita utama selama beberapa hari ke depan. Hal paling buruk justru terjadi kepada karyawan yang selamat. Mereka mendadak memiliki perilaku aneh dan tak lazim. Sering bicara dan tertawa sendiri, hingga hilang kendali seperti bukan perilaku manusia.
Inhuman, setidaknya itulah sebutan yang digunakan para peniliti dan ahli dalam fenomena aneh ini. Jumlah mereka semula sedikit, tapi lama-kelamaan menjadi sangat banyak dan bertambah berkali-kali lipat setiap harinya. Sosok Inhuman nyaris menyerupai zombie yang beraktivitas tanpa arah, tanpa bicara, dan dengan tampilan yang semakin tidak karuan menyerang kota dan jadi kanibal bagi sesama manusia.
"Kita nggak akan selamat. Kita pasti mati," kata seorang pria muda di pinggir jalan sendirian melihat semua kekacauan ini.
"Masih ada kesempatan," jawab seseorang muncul di hadapannya seperti ingin menenangkan. "Ikut aku, atau kamu benar-benar akan mati."
Pertemuan pertama antara Arez ditolong Cody membuat keduanya jadi rekan dalam bertahan hidup di kota yang semakin tak terkendali ini. Keduanya mencari rekan lainnya yang bisa diajak bergabung. Sampai di bulan keenam ketika Jakarta lebih mirip kota mati, Arez dan Cody berhasil menambah 4 anggota lain dalam timnya, yaitu Teresa, Gama, Ardi, dan Susi.
Tak jarang enam orang ini bertarung di jalan melawan Inhuman dengan senjata apa adanya. Mulai dari tongkat bisbol, kayu runcing, hingga pistol yang diambil dari polisi yang sudah terinfeksi Inhuman. Mereka mencari titik baru setiap minggunya untuk beristirahat dan mencari pertolongan lain. Meski memang belum dapat titik terang, setidaknya semangat itu masih tetap ada.
"Guys, guys," kata Gama mengecek saluran radio yang didengarnya lewat headphone di tempat persembunyian mereka. "Ada sinyal!"
Semua refleks mendekat ke tempat Gama duduk seakan penasaran dengan kelanjutan sinyal yang dimaksud. Wajah laki-laki berusia 35 tahun itu yang semula antusias, kini perlahan murung seperti mendengar kabar buruk. Rekan lainnya tentu penasaran dengan apa yang terjadi, hingga menanyakan ada hal lain apa yang belum mereka tahu.
"Ternyata tadi sinyal SOS. Ada yang butuh bantuan kita di sekitar Bundaran HI. Kemungkinan cuma seorang."