Aku mulai menyadari bahwa aku telah sadar dari koma. Aku bisa melihat secara jelas apa yang ada di sekitarku sekarang, termasuk makanan dan minuman yang tersimpan di permukaan meja -mungkin itu milik kedua orang tuaku atau Kai.
Ruangan kemudian terbuka, diikuti oleh langkah kaki laki-laki muda yang kemarin menjengukku. Ia membawa satu buket bunga matahari seperti apa yang pernah dijanjikan.
"Rey?" kataku menahan tangis.
"Davina?" tanyanya balik menyebut namaku seolah tak percaya bahwa aku sudah sadar. Ia menjatuhkan bunga itu, lalu berbalik arah keluar pintu dengan wajah panik.
Tiba-tiba saja aku bisa menggerakkan tubuh dan bangkit dari tempat tidur untuk menyusul Rey. Tak berselah lama, Rey datang bersama Kai, juga ditemani oleh seorang dokter dan beberapa perawat melihat tubuh asliku yang ternyata masih berbaring di tempat tidur.
Itu artinya ada dua orang Davina di sini. Aku yang sedang berdiri dan tak disadari oleh mereka, dan aku yang tertidur di sana dengan kondisi kritis.
"Kak, bangun! Kakak nggak boleh pergi," kata Kai histeris yang kemudian ditenangkan Rey.
Sahabatku itu memeluk Kai erat sambil mencoba menahan tangisannya. Meski suaranya sangat pelan, aku bisa mendengar apa yang ia katakan saat itu.
"Vin, kalau kamu memang nggak kuat lagi, aku ikhlas kok."
Kemudian pintu itu berubah menjadi cahaya menyilaukan seakan menjadi gerbang baru. Cahayanya indah, membuatku ingin masuk untuk melihat ada apa di dalamnya.
Meski dokter masih sibuk memberikan pertolongan terbaik, meski Kai masih menangisi kondisiku yang tak stabil, dan meski Rey pada akhirnya menangis juga, aku sama sekali tak mempedulikan semuanya.