Semua bermula ketika aku dan Saturnus baru pulang menonton bioskop di akhir pekan. Di perjalanan pulang malam itu menggunakan sepeda motor, ia mengajakku mengobrol dengan membahas soal usia kami yang semakin matang dan sudah saatnya untuk membicarakan tahap yang serius.
"Aku masih belum siap, Saturnus. Lagian kenapa harus buru-buru, sih? Kamu nggak perlu FOMO sama teman-temanmu yang udah menikah dan punya anak itu," jawabku yang jelas menolak halus ajakannya.
"Ya terus mau sampai kapan hubungan kita gini-gini aja?" tanya Saturnus menembus dinginnya malam kota.
"Sampai kamu berhenti untuk ngatur kehidupan aku."
"Ngatur apanya, Bumi? Selama ini aku mau yang terbaik untuk kamu. Untuk kita."
"Dengar ya, Saturnus, kalau kamu berpikir bahwa pernikahan adalah jawaban, maka orang tua kamu nggak perlu cerai dan kakak kamu nggak perlu jadi korban KDRT."
Kata-kataku saat itu memang keterlaluan, yang pada akhirnya membuat kami saling diam tanpa kata sampai aku mengantarnya ke rumah.
***
Alasan kedua kenapa aku menamakannya Saturnus adalah karena planet itu memiliki cincin yang menjadi ciri khasnya. Begitu pula dengan Saturnus dalam cerita ini. Ia telah terikat pertunangan yang menjadikan jari manisnya terlingkar cincin berkilau.Â
Aku datang ke acara pertunangan itu seorang diri. Bertemu dengannya, memberi selamat juga kepada calon suaminya itu.Â
Laki-laki beruntung yang pada akhirnya menggantikan posisi 3 tahunku ternyata Jupiter, yang tentunya nama samaran juga. Ia adalah teman kuliah Saturnus yang memang ku tahu sejak lama memiliki rasa pada perempuan itu.Â