Alkisah 3 calon presiden Indonesia sedang melaksanakan debat yang disiarkan langsung di televisi. Mereka menyampaikan visi misinya untuk mengabdi pada negara ini. Lalu ketika salah satu calon ditanya oleh presenter, "Bagaimana jika Anda tidak menang?", calon presiden itu menjawab,
"Jika saya tidak menang, berarti Indonesia sudah kalah..."
Tahun 2024 ini memang akan jadi salah satu tahun bersejarah untuk negara kita karena di tahun inilah pesta demokrasi kembali dilaksanakan untuk memilih anggota legislatif, hingga presiden untuk 5 tahun ke depan. Tak dapat dipungkiri juga banyak sekali kebijakan, drama, serta konflik yang masih terasa panas sampai saat ini.
Tapi tenang saja, kutipan yang saya tulis di awal itu tidak ada kaitannya dengan peristiwa pemilihan presiden sekarang. Itu merupakan sepenggal scene dari salah satu film Indonesia berjudul 2014.
Memang film ini rasanya jarang sekali terdengar, bahkan tidak ada di layanan streaming resmi manapun jika ingin menontonnya secara resmi. Entah apa alasannya, tapi film 2014 ini memang punya tema sensitif karena mengangkat tema pemilu, khususnya pemilihan presiden.
Sesuai judulnya, film ini berlatar di tahun 2014 atau 10 tahun lalu ketika saat itu menjadi puncak pesta demokrasi. Awalnya film ini dijadwalkan tayang di Agustus 2013, tapi karena satu dan lain hal diundur sampai hampir 2 tahun, di mana rilis resmi di layar lebar pada tanggal 26 Februari 2015.
Kala itu saya masih kuliah semester 4 dan menyempatkan menonton ke bioskop bersama seorang teman. Kompasianer tahu bahwa saat itu hanya ada 5 orang saja yang menonton di dalam studio.
Sejujurnya juga pada awalnya saya ingin sekali menonton ini karena ada Maudy Ayunda yang jadi salah satu pemerannya. Tapi begitu menonton dari awal hingga akhir, ternyata film 2014 sangat berani mengangkat tema hal-hal kotor yang ada di dalam pemilu. Mulai dari fitnah, perebutan kekuasaan, hingga hilangnya orang-orang penting yang dianggap berbahaya bagi terjadinya hukum yang adil.
Kemarin saat rilisnya film dokumenter Dirty Vote yang cukup viral, saya jadi teringat dengan film 2014 dan mencoba menontonnya kembali di YouTube. Ya meskipun ini bukan secara resmi, dan sampai saat ini pun belum ada aplikasi streaming yang menyediakannya.
Maka dari itu saya ingin mencoba mengulas tentang film 2014 yang rasanya seperti cermin bagi politik Indonesia. Apalagi saat ini pun sedang panas-panasnya karena pemilu akan dilaksanakan.
SINOPSIS
Tahun 2014 ada 3 calon presiden Indonesia. Seperti di kehidupan nyata, ketiganya melaksanakan debat yang disiarkan langsung di televisi. Mereka adalah Faisal Abdul Hamid (Rudy Salam) dari Partai Kesejahteraan Rakyat, Syamsul Triadi (Akri Patrio) dari Partai Pelindung Rakyat, dan Bagas Notolegowo (Ray Sahetapy) dari Partai Nusantara.
Bagas Notolegowo bisa dibilang menjadi kandidat paling kuat karena punya rasa keadilan tinggi bagi rakyat serta selalu memenangkan hasil survey yang dilakukan. Namun sayangnya ia terkena fitnah dan dituduh membunuh rekannya, Ramadhan Hasyim yang juga menjabat sebagai Kepala Departemen Keuangan.
Iptu Asri (Atiqah Hasiholan) yang juga turun langsung ke lapangan untuk menyelidiki kasus, mencurigai bahwa ada motif kepentingan di sini yang membuat calon presiden terkuat itu seakan bersalah dan mundur dalam pemilu yang akan dilaksanakan dua bulan lagi itu.
Ricky Bagaskoro (Rizky Nazar) yang merupakan anak sulung Bagas mencoba menghubungi pengacara dan dosen hebat untuk mendampingi kasus ini. Dia adalah Khrisna Dorojatun (Donny Damara) yang selalu memenangkan kasus dengan cara bersih. Setelah mencapai kesepakatan, Khrisna akhirnya membantu Ricky untuk bisa membersihkan nama Bagas yang kini sudah jadi tersangka dan dipenjara.
Konflik mulai terasa ketika Ricky dan Laras (Maudy Ayunda), anak Khirsna, mencoba mencari bukti-bukti di TKP tempat Ramadhan Hasyim tewas. Keduanya diikuti oleh seseorang yang ternyata ingin mengincar nyawa mereka dan menghalangi siapapun yang terlibat dalam kasus ini.
KOTORNYA KEPENTINGAN POLITIK
Seperti dugaan Iptu Asri bahwa ada kepentingan politik di sini yang sengaja membuat Bagas tersingkir dari pemilu. Bahkan perlahan-lahan petunjuk-petunjuk penting itu hilang. Seperti atasannya yang tiba-tiba dimutasi ke Kalimantan padahal sedang menyelidi kasus ini. CCTV dan segala pentujuk yang ada di apartemen tempat Ramadhan Hasyim tewas tiba-tiba saja lenyap dan tak bisa dijadikan sebagai barang bukti.
Di persidangan pun mau tak mau Bagas Notolegowo jadi semakin tersudut, apalagi dari waktu kedatangan ia ke TKP dan waktu perkiraan tewasnya korban hampir bersamaan. Untung saja Khrisna Dorojatun bisa sedikit memutar pertanyaan pada jaksa penuntut umum dan saksi yang bisa menyamarkan keterlibatan Bagas dalam pembunuhan ini.
Usut punya usut, ternyata ada salah satu capres lain yang terlibat dan menjadi otak atas kasus Bagas ini. Bisa dilihat juga bahwa hal ini akan jadi kesempatan emas bagi dirinya karena lawan terkuat sebentar lagi akan tumbang. Bahkan si capres ini tak segan untuk meminta Presiden yang kala itu masih menjabat untuk dapat membantunya memenangkan pemilu.
Tak sampai sana saja, setiap saksi ataupun kunci yang bisa membersihkan nama Bagas tak segan-segan akan dibunuh agar rencana politik kotor mereka bisa berjalan setidaknya sampai pemilu selesai.
SIAPA DI ATAS PRESIDEN?
Siapa Di Atas Presiden? merupakan sub judul untuk film 2014, di mana memang menjadi pertanyaan yang harus ditemukan oleh penonton. Di sini pun memang akan diperlihatkan bahwa ada peran penting yang bisa mengontrol jalannya pemerintahan, sekalipun itu seorang presiden.
Siapapun yang nanti akan jadi presiden, tetap saja akan ada pihak yang mengontrol pemerintahan di 5 tahun ke depan. Seperti yang ditemukan Ricky di catatan milik Satria (Rio Dewanto), orang yang selama ini mengincar nyawa mereka dan menjadi kaki tangan elit politik yang jahat.
Kurang lebih seoerti inilah catatan yang menjadi target jalannya pemerintahan Indonesia untuk tahun 2014-2019. Dimulai dari menurunkan polling Bagas Notolegowo, Presiden yang harus dari kawanan militer, pembubaran KPK, hingga penguasaan parleman agar 100% pemerintahan bisa langsung dikontrol. Wow wow, cukup ngeri juga ya kalau benar terjadi langsung di kehidupan nyata.
Sambil menebak-nebak Siapa di atas Presiden sebenarnya, penonton akan disuguhkan dengan banyak adegan aksi masing-masing karakter, terutama Rio Dewanto dan Atiqah Hasiholan yang membuat suasana tak hanya tegang, tapi juga seru. Dan juga adegan tembak-menembak ala film aksi kebanyakan akan mendominasi juga di sini.
CERMINAN PEMILU 2024?
Film garapan Rahabi Mandra dan Hanung Bramantyo ini memanglah mengambil latar tahun 2014 alias 10 tahun lalu, yang mana proses produksinya pasti dilakukan jauh sebelum tahun tersebut (apalagi rencana awal rilis tahun 2013). Namun isi di dalam film yang tentunya fiksi ini justru begitu dekat dengan kehidupan politik saat ini.
Dimulai dari tahun 2014, 2019, bahkan hingga 2024 ini, akan ada saja fitnah sana-sini yang menyudutkan masing-masing calon presiden. Setiap kepentingan politik akan dijadikan prioritas agar bisa menjalankan kekuasaan di negara ini, apapun caranya.
Jika melihat fenomena tahun ini pun, rasanya masih tak bisa lepas dengan jalan cerita film 2014. Beberapa aturan dan kebijakan tiba-tiba dibuat, upaya menjatuhkan lawan jadi hal yang tak aneh lagi di mata masyarakat, serta sama-sama mencari dukungan lewat sosial media. Dan tentunya, masing-masing calon memberikan upaya terbaiknya agar nanti terpilih di tanggal 14 Februari nanti.
Tapi bagaimanapun juga, film 2014 tetaplah fiksi. Terlepas dari apa yang terjadi di sana masih menjadi cerminan pemilu 2024, saya rasa itu hanya kebetulan saja, ataupun ya... bahwa kondisi politik memang sejak dulu tak pernah berubah.
Begitulah kurang lebih ulasan film 2014 yang bisa saya tulis di sini. Jika Kompasianer penasaran dengan kilasan jalan cerita film 2014, bisa saksikan trailer-nya di sini:
Atau bisa juga saksikan full movienya di sini (meski bukan resmi) di Youtube dengan keyword "2014: Siapa di Atas Presiden".
Terlepas dari rumit dan kotornya pemilu di film 2014, kita berharap bahwa pemilu 2024 bisa berjalan dengan baik, lancar, dan tanpa kecurangan. Maka dari itu kita sebagai warga negara yang baik tentu harus menggunakan hak pilih sebaik mungkin, juga mengawas secara langsung kegiatan pemilu di dalamnya.
Akhir kata, terima kasih sudah mampir. Sampai jumpa di tulisan selanjutnya! Salam damai untuk Indonesia 2024!
-M. Gilang Riyadi, 2024-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H