"Ini perjanjiannya, lengkap dengan pasal-pasal yang harus kamu pahami."
Adyan menyerahkan beberapa lembar kertas ukuran A4 itu pada perempuan berambut pendek di depannya. Di sebuah kafe yang cukup sepi jam tujuh malam itu, Jesi, sang lawan bicara, mencoba memahami setiap aturan yang tercantum di sana. Sedikit ribet dan terlalu detail hanya untuk sesuatu yang sederhana.
Jesi membaca ulang dari halaman awal untuk benar-benar memastikan. Tidak boleh ada dokumentasi apapun demi meminimalisir terjadinya revenue porn, oke cukup masuk akal. Lalu dilarang berselingkuh atau dengan kata lain tak boleh berganti pasangan selama perjanjian ini berlaku. Masih bisa dipahami.
Beberapa poin lain dalam pasal-pasal itu membahas juga soal penyerahan tes kesehatan rutin selama dua bulan sekali bagi keduanya, tentang jenis permainan yang boleh dan tidak boleh dilakukan, alat-alat tambahan apa saja yang bisa digunakan, sampai soal bolehnya memakai pengaman atau tidak.
"Denda? Seriously?" Dahi Jesi mengerut ketika poin terakhir dibacanya dua kali. Ia tidak salah bahwa di sana tertulis denda yang tak sedikit jika satu dari mereka melanggar satu atau lebih aturan yang tercantum.
"Just in case. Kamu bisa menambahkan, mengurangi, serta merevisi aturan yang ada di sana, kok. Tentunya dengan kesepakatan kita berdua sebelum menandatanganinya di atas materai."
Baru kali ini Jesi mendapat calon partner seperti Adyan yang serba detail bahkan hanya untuk urusan kepuasaan hasrat seperti ini. Jika bukan karena pria itu tampan dan berbadan atletis, tak akan juga Jesi berjuang sampai sejauh ini. Ya tak disangkal juga bahwa dalam hubungan Friends With Benefit itu fisik jadi nomor satu karena tidak melibatkan perasaan.
Maka tak lama dari sana, Jesi dan Adyan berdiskusi serius sembari mencorat-coret lembar perjanjian itu layaknya sedang membicarakan bisnis. Usia yang hanya terpaut 3 tahun itu sekilas menjadikan hubungan mereka seperti pertemanan biasa, atau bahkan sepasang kekasih.
"Oke, deal,"Â kata keduanya menemukan titik sepakat.
***