Tempat ini memiliki luas 6x4 meter yang terdiri dari ruang utama, dapur, kamar mandi, dan halaman depan.Â
Hal pertama yang kami bertiga lakukan adalah membersihkan semua debu yang menempel baik di lantai ataupun perabotan lain, kemudian menyusun kembali tatanan seperti meja, kursi, mesin kasir, kompor dua tungku, juga hiasan dinding berupa foto jadul ketika tempat ini masih ramai dikunjungi pembeli.
Selanjutnya adalah menyusun jenis-jenis toping yang tadi pagi dibeli di pasar. Di antaranya ada kerupuk original warna orange yang paling umum digunakan penjual seblak, kerupuk warna warni yang teksturnya tebal dengan motif keriting, kerupuk panjang kuning menyerupai kentang goreng, makaroni kuning dan hitam, siomay kering ukuran mini, hingga kerupuk bunga.
Kerupuk dan toping lainnya ini disimpan terpisah dalam wadah ukuran sedang, lalu diberi nama di tutupnya untuk memudahkan kami dan pembeli ketika melakukan pemesanan.
Matahari semakin jingga hendak turun ke peraduannya ketika semua persiapan ini mencapai 80 persen.Â
Arum kemudian menyarankan kami untuk mencoba membuat seblak sebagai tester apakah yang nanti akan kami jual benar-benar layak atau tidak untuk pelanggan. Mengingat juga bahwa semua kebutuhan bumbu dan perlatan sudah lengkap di sini.
"Bumbu itu lebih enak diulek, Jar," kata Brian seketika mengomeliku yang hendak menghaluskan bumbu menggunakan blender.
"Tapi itu akan makan waktu lama, Ian. Kita harus bisa mempersingkat waktu."
"Guys, tenang," Arum mulai menengahi. "Gimana kalau kita buat challenge untuk kalian berdua. Ganjar dan Brian silakan masak sesuai cara masing-masing. Mulai dari bumbu, jenis toping, kuah, dan semuanya. Aku akan jadi jurinya, gimana?"
Kami berdua menerima tantangan, berada pada sudut berbeda untuk mulai masak. Â Brian di sana sibuk mengulek bumbu yang sudah dikupas dan cuci.Â
Sementara itu aku mulai memblender bumbu-bumbu seperti bawang putih, bawang merah, cabai merah keriting, cabai rawit, dan kencur.