Sepuluh tahun yang lalu di tempat ini, aku masih bisa mencium aroma kenangan bersama Bapak dan Ibu ketika keduanya masih ada.Â
Membantu usaha mereka yang semula di depan rumah, sampai akhirnya bisa mengontrak tempat kecil di pinggir jalan untuk dijadikan kedai sederhana.Â
Aku juga tak akan lupa bagaimana wanginya bumbu tumis itu yang terasa sedap meski belum dicicip. Aneka rempah yang dicampur dengan cabai rawit yang dihaluskan itu kadang menusuk hidung hingga membuatku bersin.Â
Berbagai macam kerupuk mentah dicampur di dalamnya, didiamkan terendam sekitar 2-3 menit, lalu disajikan di sebuah mangkok.
Maka hari ini aku memberanikan diri datang kembali ke Bandung, tempat di mana aku lahir dan tumbuh besar. Melihat kedai yang dulu dipenuhi oleh orang-orang, namun kini terbengkalai tanpa nyawa.
"So, kamu yakin untuk ini?" tanya Arum, teman masa kecilku yang rambutnya kini dipotong pendek.
"Bukan Ganjar namanya kalau nggak berani mencoba hal baru." Malah Brian, laki-laki berbadan berisi itu yang menjawab.
Inilah keputusan besar yang aku ambil untuk tidak melanjutkan kontrak kerjaku di Jakarta, lalu kembali ke sini meneruskan usaha orang tua yang cukup lama mati suri.Â
Meski mungkin hasil akhir rasa yang kubuat tak akan sama persis seperti dulu, setidaknya aku akan terus mencoba dibantu oleh Arum dan Brian.
***