Siang itu dalam perjalanan menuju Bandung, seharusnya menjadi waktu istirahatku dari segala rutinitas pekerjaan. Setelah sebelumnya berhasil mengungkap kasus penyelundupan narkoba di Ibu Kota, aku memilih cuti untuk kembali ke kota asal. Bersama Adri, polisi muda dari Divisi Kejahatan, kami menggunakan tranportasi kereta api yang berangkat dari Stasiun Gambir.
Namun siapa sangka, lagi-lagi aku menemukan kasus yang sama sekali tak terduga di sela waktu santai ini. Di gerbong makan ketika kami mengisi perut, seorang perempuan yang duduk sendirian tiba-tiba berdiri memegang tenggorokan dengan dua tangannya. Ia setengah berteriak seperti meminta pertolongan.
Tak lama perempuan paruh baya itu terjatuh, mengundang reaksi orang-orang yang juga sedang menikmati hidangan di gerbong ini. Korban sempat bergerak beberapa detik sampai benar-benar tak sadarkan diri dengan mata dan mulut yang terbuka.
Aku segera mengenakan sarung tangan yang selalu dibawa untuk kasus tak terduga seperti ini. Memeriksa denyut nadi, leher, mata, hingga mulut yang bau menyengat seperti almond.
"Adri, catat waktu kematiannya," pintaku setelah benar-benar yakin bahwa orang ini tak lagi bisa diselamatkan.
"Jam 1:17, Pak Raditya."
Ada empat lagi yang ada di gerbong makan ini selain aku, Ardi, dan korban. Tampaknya semua sama-sama sendirian dengan posisi duduk yang tak jauh dari korban.
"Jangan ada yang meninggalkan gerbong ini sampai kereta berhenti!" kataku setengah berteriak menatap semuanya. "Korban tewas karena mengonsumsi potasium sianida. Dan saya rasa... ini pembunuhan terencana."
"Memangnya Anda siapa sampai yakin bahwa ini pembunuhan?" tanya seorang laki-laki muda berkacamata dengan sinis. "Kalaupun iya, hanya polisi lah yang berhak memerintah kami."
Adri mengeluarkan dompet dari saku celananya, memperlihatkan identitas polisinya meski saat ini sedang berpakaian kasual.