Mohon tunggu...
M. Gilang Riyadi
M. Gilang Riyadi Mohon Tunggu... Penulis - Author

Movie review and fiction specialist | '95 | contact: gilangriy@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

FanFic: Squid Game Indonesia

13 Juni 2022   13:36 Diperbarui: 13 Juni 2022   22:45 824
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Drama Korea Squid Game. (Netflix via kompas.com) 

Tiga peserta terakhir di arena sore hari ini akan menentukan siapa yang benar-benar kuat dan berhak mendapatkan hadiah utama uang tunai senilai 50 Milyar rupiah. Bram, Jane, dan Farid yang sama-sama mengenakan jaket dan celana training warna biru muda kini akan berhadapan satu sama lain dengan senjata masing-masing yang telah dipilih.

Bram, 38 tahun, memilih pistol colt 1911 sebagai senjata utama yang dilengkapi dengan peluru juga cadangannya yang disimpan di saku. 

Jane, seorang koki perempuan 27 tahun yang sudah terbiasa menggunakan berbagai jenis pisau, memilih 3 pisau berbeda sebagai senjata. Satu yang paling besar ia pegang, dua lainnya yang lebih kecil disimpan di saku jaket.

Farid, mahasiswa semester 7 ini merupakan atlet panahan di kampusnya. Beruntung alat itu disediakan juga di sini. Jadi tanpa pikir panjang ia mengambilnya, lengkap dengan belasan anak panah disimpan di punggung.

Arena final ini bukan lagi lapangan besar seperti babak pertama ketika ratusan orang masing lengkap. Waktu itu semua menganggap ini hanya sebagai permainan biasa yang menjadikan permainan jadul anak-anak sebagai jenisnya.

Bayangkan saja, di babak pertama itu ratusan peserta harus membawa kelereng yang diletakkan pada sebuah sendok. Mereka harus membawa kelereng itu ke seberang lapangan tanpa terjatuh. Bila kelereng jatuh, maka peserta akan langsung ditembak mati dengan senapan otomatis yang disimpan di setiap sudut. 

"Ki-kita ada di mana?" tanya Jane panik pada pemuda seusianya saat ia berhasil menyebrang lapang tanpa menjatuhkan benda bundar itu.

"Aku nggak tahu. Sepertinya kita ada di tempat terpencil yang sulit dijangkau orang."

Kilasan balik itu kini membuat Jane tersadar bahwa sebentar lagi permainan akhir akan dimulai. Bersama dua peserta lain yang sekarang saling berhadapan, waktu mulai terhitung mundur dari layar besar yang ada di sudut sana.

Satu menit lagi mereka dihadapkan pada dua pilihan. Membunuh atau dibunuh.

***

Kakak Farid adalah seorang polisi. Sebulan yang lalu, kakaknya tersebut menceritakan tentang satu kasus di Korea Selatan yang belum terpecahkan. 

Tentang hilangnya seorang polisi yang diduga terlibat dalam sebuah kegiatan ilegal yang mengorbankan nyawa manusia. Hilangnya polisi itu pun bersamaan dengan ratusan laporan orang hilang di berbagai provinsi  negara mereka.

Sekarang Farid memiliki benang merah antara cerita kakaknya itu dengan permainan anak-anak yang mematikan ini. Ia bukan hanya terlibat, tapi juga menjadi peserta. Jika bukan karena hutang keluarga bernilai ratusan juta dan uang kuliahnya yang belum dibayar, ia tak akan mau menerima ajakan pria berpakaian formal yang ditemuinya di bus kota minggu lalu.

"Welcome to the final game, peserta 171, 032, dan 199," kata suara berat misterius yang entah ada di mana. "Permainan kali ini adalah Petak Umpet."

Bram sebagai yang tertua di antara mereka mengernyitkan dahitnya sesaat. Lagi pula, petak umpet macam apa yang mengharuskan bawa senjata?

"Kalian berada di tengah labirin raksasa. Setiap peserta akan diberikan waktu masing-masing 10 menit untuk mencari dan membunuh lawan. Peserta lain yang belum dapat giliran tidak diperkenankan membunuh sebelum waktunya tiba. Tidak ada batas waktu untuk permainan ini. Siapa yang bisa bertahan, dialah pemenang utamanya."

Ketiganya diberi kesempatan selama 60 detik untuk berpencar lebih dulu ke tempat yang sulit dijangkau. Lalu ketika waktu habis, sebuah bunyi sirine ambulans berbunyi keras yang dibarengi dengan foto Bram yang tiba-tiba saja ada di langit dengan mengenakan setelan jaket biru muda bertuliskan nomor 199.

"Peserta 199, it's your turn."

Dulu Bram pernah menemani anaknya menonton film The Maze Runner. Ternyata kini dia sendirilah yang ada di permainan itu menambus labirin raksasa yang dipenuhi dedaunan untuk mencari lawan. Bram bisa merasakan suara langkah dua lawannya yang berusaha menghindar. Ia terus berlari menelusur setiap belokan dengan pistol hitam yang selalu siaga dipegangnya.

Sampai di satu sudut Bram melepaskan satu tembakan yang nyaris saja mengenai kaki seorang perempuan berambut ekor kuda. Itu Jane, perempuan cerdik yang waktu itu memenangkan permainan congklak. 

Bram juga menang saat itu, yang membuat lawan mainnya langsung ditembak di tempat oleh salah satu petugas berpakaian serba merah dengan topeng lambang segitiga.

Jane tersandung sampai ia kesulitan untuk berdiri. Ini menjadi kesempatan emas bagi Bram yang langsung menodongkan pistol ke hadapan perempuan itu.

"It's okay, Jane. Ini cuma sakit sedikit."

Konsentrasi keduanya seketika buyar ketika bunyi sirine kembali bergema ke seluruh arena, yang kemudian disusul oleh wajah Farid yang muncul di atas langit.

"Peserta 032, it's your turn," kata suara misterius.

"Aturan utama, tidak boleh membunuh sebelum waktunya," kata Jane dengan senyum liciknya.

***

Image by Travel Kompas
Image by Travel Kompas

Sambil melangkah membawa panah yang siap dilepaskan, Farid berjalan pelan ke sumber suara ledakan pistol. Ia berspekulasi bahwa Bram telah melepaskan satu peluru. Tapi masalah mengenai seseorang atau tidak, ia masih ragu.

Farid sempat mengenal Bram di arena makan kerupuk, permainan setelah balap kelereng. Ia tak akan melupakan permainan itu karena nyawanya nyaris hilang.

Sama seperti permainan makan kerupuk di lomba kemerdekaan, setiap peserta diharuskan memakan sampai habis kerupuk yang tergantung. Hanya saja, kerupuk yang peserta makan itu telah diracuni oleh sianida. Untuk menyelamatkan diri, peserta harus menghabiskan kerupuk tersebut tak lebih dari dua menit, lalu menuju sudut lapangan untuk meminum penawar racun.

Dan Bram menjadi peserta pertama yang lolos dari permainan itu.

"Halo, guys," ucap Farid santai melihat Bram dan Jane di titik yang sama. Ini kesempatan bagus.

Tanpa basa-basi Farid melepaskan satu anak panah yang langsung menancap di kaki Bram. Dengan refleks, Jane segera pergi menembus banyaknya belokan tanpa tahu tujuan. Farid sangat berbahaya karena bisa menyerang musuh dari kejauhan, tidak sepertinya yang hanya memiliki pisau dan baru bisa membunuh jika benar-benar di dekat lawan.

Tentu Farid belum puas. Masih belum beranjak dari tempatnya berdiri, ia melepaskan beberapa anak panah lagi. Satu di perut Bram, satu di dada tepat di jantung, dan satu lagi sebagai tembakan terakhir, ia menyerang kepalanya langsung.

Tubuh Bram sudah dilumuri darah di mana-mana yang membasahi jaket biru mudanya. Ia sudah tak sadarkan diri, kemungkina mati.

"Ayo, Jane, nggak perlu lari dari saya!" katanya setengah berteriak sambil menyiapkan tembakan panahnya.

Farid terus berlari dari sudut ke sudut labirin tapi tak menemukan tanda pergerakan Jane. Gadis itu memang tak bisa diremehkan.

"Farid, aku di sini!" kata sebuah suara yang terdengar tak jauh.

Laki-laki itu kembali berlari mencari arah sumber suara, sampai ia menemukan Jane sedang berdiri seakan siap untuk diterkam. Saat ia menyiapkan panah untuk menembak Jane, suara sirine ambulans lagi-lagi bergema. Ini tandanya, giliran Jane untuk membunuh.

Jane langsung lari dan menancapkan pisau ukuran kecil ke perut Farid. Laki-laki itu sempat kaget, kemudian menendang tubuh Jane yang kecil hingga terjatuh.

Aturan pertama jika tubuh tertusuk , jangan sekali-kali mencabutnya jika tak ingin terjadi pendaharan hebat. Maka Farid menahan rasa sakit itu meski pisaunya masih tertancap sambil menghindar agar tak diserang kembali. Terdengar suara langkah kaki yang semakin mendekat. Sial, jika begini terus ia tak akan bisa selamat.

Suara sirine berbunyi bahkan sebelum 10 menit. Sepertinya ini diatur mereka untuk membuat permainan lebih mengasyikan.

Langkah Jane yang semula mendekat kini berbalik menjauh. Tentu Farid memanfaatkan kesempatan ini untuk mengejar satu-satunya lawan yang tersisa meski pisau masih tertancap di perutnya. Setiap ia melihat sosok perempuan itu, anak panah terus dilepas meski belum tepat melukai.

Sampai di satu titik, Farid berhasil menancapkan anak panah di betis Jane.

***

Jane sudah pasrah. Mungkin memang ini akhir dari hidupnya. Ia tak bisa membangun kembali bisnis kulinernya yang sudah gulung tikar, juga akan meninggalkan adik perempuannya yang masih butuh biaya kuliah.

Dari jarak yang tak terlalu jauh, Farid kembali bersiap melepaskan panah selanjutnya seperti apa yang ia lakukan kepada Bram. Lagi pula sudah terlambat untuk gadis itu menghindar. Jika pun ia memaksa lari, kakinya yang lain pasti akan kena sasaran selanjutnya.

Suara sirine terdengar memekik telinga. Keadaan lagi-lagi berbalik.

Dengan kaki yang berdarah karena bekas tancapan panah, Jane perlahan bangkit, kemudian mengeluarkan sesuatu dari sakunya.

Itu pistol, yang diambil dari mayat Bram. Ia segera melepaskan satu tembakan hingga mengenai punggung Farid yang hendak berlari. Laki-laki itu tak bisa berkutik lagi. Posisinya jatuh pada bagian depan membuat pisau di perutnya terus menusuk ke dalam. Jane mendekat dengan langkah pincang, kemudian membalikkan tubuh pria itu agar mereka berhadapan.

"Akulah pemenangnya," katanya pelan setengah berbisik, mengarahkan moncong pistol ke kening lawan.

DOR!!!

***

Squid Game Indonesia - Selesai

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun