Seorang pria berdiri di tengah aula kampus  dengan melebarkan kedua tangan yang memegang kendali alat panahan. Dengan seragam jersey putihnya, ia melepaskan anak panah menuju sasaran yang menancap tepat di lingkaran warna kuning dengan tulisan angka 9. Belum sempurna memang, tapi aku rasa ia sudah cukup puas dengan tembakannya barusan.
Ketika hendak melepaskan anak panah kedua, aku membuatnya sadar bahwa ada orang lain juga di sini. Kedua tangan yang kutepuk pelan membuat laki-laki muda itu menunda tembakan selanjutnya, lalu membalikkan badan hingga kami saling tatap meski dengan jarak yang cukup jauh.
"Kemampuan seorang atlet panahan kampus memang tak pernah bisa diragukan," kataku memulai pembicaraan.
Ia menatapku curiga masih dengan alat panah yang digenggamnya. Mungkin dia pikir penyelidikan dua hari lalu adalah awal dan akhir pertemuan kami. Tanpa disadari bahwa kesaksiannya, juga bukti dari Divisi Kejahatan Kepolisian, telah memutuskan secara final bahwa laki-laki berusia 20 tahunan ini adalah pelaku atas terjadinya kasus pembunuhan pelatihnya sendiri.
Rahmanto, 42 tahun, ditemukan tewas di lapangan dengan anak panah yang menancap tepat di bagian dada. Waktu perkiran kematiannya sekitar jam 7 malam, tepat ketika 10 anak didiknya menyelesaikan agenda latihan memanah untuk persiapan kompetisi antar kampus.
"Setengah jam yang lalu saya dapat kabar kalau data ponsel Pak Rahman yang dihancurkan pelaku ternyata masih bisa diselamatkan. Dan tebak, apa yang kami temukan di sana?"
Laki-laki itu tidak bisa menyembunyikan rasa kagetnya. Sempat panik, namun beberapa detik kemudian kembali bersikap dingin seolah tak terjadi apa-apa.
Dia kembali memasang kuda-kuda dengan alat panah besar yang kini diarahkan tepat dihadapanku. Aku membalas dengan senyum simpul meski tahu bahwa sasaran panahnya kali ini adalah aku, sebagaimana yang dia lakukan terhadap korban waktu itu.
"Maaf, Detektif, seharusnya Anda tidak perlu ikut campur di kasus ini," ucapnya sebelum melepaskan anak panah.
***
Hanya ada tiga orang di ruangan interogasi kepolisian ini. Aku, sebagai detektif swasta yang  dipercaya untuk mengungkap kasus pembunuhan seorang pelatih panahan. Ara, perempuan muda tim Divisi Kejahatan yang bisa mendeteksi kebohongan seseorang. Dan Renaldi, satu dari tiga tersangka yang diduga sebagai pelaku pembunuhan kasus kemarin malam.
Sebenarnya ada 10 mahasiswa didikan Rahmanto yang berlatih panahan malam itu. Hanya saja, tiga tersangka ini tidak memiliki alibi yang kuat di waktu perkiraan kematian korban. Terlebih juga, hanya tiga orang inilah yang pulang telat dibandingkan dengan anggota lain.
"Detektif Raditya, berapa kali aku perlu bilang bahwa aku sedang diare saat itu. Oleh karenanya aku ada di salah satu toilet dekat lapangan dan jadi orang pertama yang menemukan Pak Rahman tergeletak di sana."
"Bagaimana jika sebenarnya kamu memang pelakunya, lalu membuat alasan itu hanya untuk sebagai alibi?" tanya Ara menyudutkan seakan memang Renaldi lah pelakunya. "Dan juga, bukankah kamu sebagai atlet panahan terbaik yang dimiliki kampus?"
"Aku selalu ada di posisi dua, Mba Ara yang terhormat. Masih ada Alvaro, mahasiswa tingkat akhir yang selalu ada di posisi pertama. Bukan hal sulit rasanya hanya untuk memanah dada seseorang."
Interogasi bersama Renaldi selama satu jam itu berakhir. Kini giliran Alvaro, laki-laki paling senior di antara ketiganya yang dikatakan sebagai si nomor satu atlet panahan kampus. Beda dengan tersangka sebelumnya, Alvaro jauh lebih santai ketika aku dan Ara mengajukan banyak pertanyaan.
Dari keterangannya, aku dapat mengambil kesimpulan bahwa Alvaro memilih ke kantin kampus untuk mengisi perut kosong ketika selesai latihan. Selesai makan, ia mendapat telepon grup dari Renaldi yang mengatakan bahwa pelatihnya sudah tak bernyawa di tengah lapangan. Ia datang dan mendapati ada dua orang yang berada di posisi korban malam itu.
"Aku tidak tahu kenapa Damar tiba-tiba ada di sana. Tapi seingatku, dia adalah yang paling membenci Pak Rahman di antara kita bertiga."
Keterangan Alvaro selanjutnya membawa tersangka ketiga, yaitu Damar, untuk berada di ruangan kedap suara ini. Laki-laki bertubuh besar itu tidak banyak bicara dan hanya menjawab pertanyaan seperlunya. Alasannya kala itu berada di TKP sebelum Alvaro datang dikarenakan ia ada di grup yang sama dengan Renaldi. Maka ketika tersangka pertama menelepon rekan panahannya yang lain, Damar termasuk ada di dalamnya.
"Saya memang tidak suka dengan Pak Rahman, tapi bukan berarti saya sampai harus membunuhnya," jawab Damar ketika dikonfirmasi soal hubungannya dengan pelatih itu. "Lagi pula, bukankah yang paling mencurigakan adalah Renaldi? Bisa saja sejak awal dia sudah ada di lokasi karena memang dia pelakunya."
"Lalu ada di mana kamu ketika peristiwa itu terjadi?" tanyaku membelokkan topik.
"Minimarket kampus. Kalian bisa tanya kasir di sana."
***
Malamnya bersama Jeremy, rekanku yang lain dari Divisi Kejahatan Kepolisian, aku mendatangi kembali TKP di lapangan kampus yang masih dipasangi garis polisi. Kondisi di sana belum banyak berubah, termasuk sasaran panahan gambar lingkaran yang masih berjajar.
Yang membuatku penasaran adalah ponsel korban yang harus dihancurkan di lokasi. Kemungkinan besar itu dilakukan pelaku dengan alat panahnya hingga layarnya benar-benar hancur. Pertanyaannya, apa ada data penting yang tidak boleh diketahui orang lain?
"Dari hasil interogasi yang dilakukan Pak Radit dan Ara, entah kenapa saya curiga ke Renaldi," kata Jeremy sambil melihat ke buku catatan kecilnya.
"Kalau Ara justru lebih mencurigai Damar karena dia punya dendam pribadi kepada korban. Dan saya sendiri sedikit heran dengan Alvaro yang terlalu tenang ketika tahu pelatihnya tewas."
Ketika kecurigaan terhadap tiga tersangka itu belum selesai dibahas, telepon dari Adri ke ponselku memberikan satu faktu baru tentang tersangka. Ternyata satu dari mereka memiliki alibi yang sangat samar. Adri mencurigai bahwa orang itu pelakunya. Sekarang, hanya perlu mengumpulkan bukti yang lebih kuat.
"Jer, saya akan ke rumah sakit untuk tahu lebih lanjut soal hasil autopsi korban. Kamu coba hubungi Divisi Barang Bukti untuk sebisa mungkin menyelamatkan data-data yang ada di ponsel Rahmanto, sekecil apapun itu."
***
Di sinilah aku saat ini, aula kampus yang biasa digunakan tempat latihan memanah selain lapangan. Si pelaku ada di depanku, mengarahkan alat panahnya untuk menembak ke sini seperti apa yang waktu itu dilakukan ke korban.Â
"Maaf, Detektif, seharusnya Anda tidak perlu ikut campur di kasus ini."
Di sudut sana sebenarnya sudah ada Alvaro, atlet pemanah nomor 1 yang sudah menyiapkan diri jika hal ini terjadi. Dia yang sempat dicurigai olehku justru sekarang bekerja sama dalam penyelidikan ini. Panahnya dilepaskan tepat melukai lengan pelaku meski tidak sampai menancap, membuat si pelaku kehilangan konsentrasi dan tidak jadi melukaiku.
Sementara itu di sudut yang lain ada Renaldi, orang yang dituduhnya sebagai pelaku. Padahal yang benar-benar melakukan kejahatan itu adalah Damar, tersangka terakhir yang aku wawancarai.
Renaldi melakukan hal sama; melepas anak panah yang kini tepat menancap di betis Damar dan membuat darah mengalir di sana. Kini, Damar tak bisa berkutik dan berhasil masuk ke perangkap yang sudah kususun bersama Ara kemarin.
Aku, Alvaro, dan Renaldi bersamaan mendekat ke arahnya yang kali ini tak bisa melakukan perlawanan lagi.
"Pak Rahman adalah pelatih mesum," katanya tanpa basa-basi. "Dia sering merekam mahasiswi panahan di ruang ganti. Salah satunya, Alisa, pacarku."
"Data ponsel Pak Rahman sebenarnya tidak bisa diselamatkan. Jadi saya rasa, tindakan kamu menghancurkannya tidaklah sia-sia. Semua percakapan tadi hanya perangkap untuk membuat kamu setidaknya mengaku meski secara tak langsung."
Tidak berselang lama, anggota kepolisan lain dan tim medis datang untuk membawa anak muda itu menjalani proses hukum. Ada Ara juga datang berterima kasih pada Renaldi dan Alvaro yang bersedia menjalankan rencana berisiko ini.
"Tapi, Detektif, bagaimana kalian bisa mencurigai Damar sebagai pelakunya? Ya meskipun aku tahu sudah sejak lama dia tak suka dengan Pak Rahman."
Pertanyaan Renaldi membuatku mengingat kembali tentang analisis yang didapat Adri, yaitu tentang Damar yang mengatakan sedang ada di minimarket kampus ketika peristiwa terjadi. Padahal dari rekaman CCTV di minimarket itu, ternyata ia ke sana setelah menemukan korban di lapangan. Hal ini dibuktikan juga dengan history panggilan yang Renaldi lakukan ketika menelpon dua rekannya. Perbedaan waktu yang terlihat jelas membuat kesaksiannya justru jadi bumerang tersendiri yang balik menyerang.
"Oh, pantas saja akhir-akhir ini aku sering melihat dia berlatih sampai larut malam. Bisa jadi karena ingin mempersiapkan ini semua," kata Alvaro menambahkan.
Pamit dari mereka berdua yang secara tak langsung menyelamatkan nyawaku, Ara mendapat telepon dari seseorang. Dari raut wajahnya, sepertinya akan ada kasus baru.
"Apa lagi kali ini?" tanyaku santai.
"Sindikat penyelendupuan narkoba, Pak."
Baiklah, otakku memang belum siap untuk istirahat.
Serial Detektif - Bloody Damn Archer
SELESAI
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H