Mohon tunggu...
M. Gilang Riyadi
M. Gilang Riyadi Mohon Tunggu... Penulis - Author

Movie review and fiction specialist | '95 | contact: gilangriy@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Hobby Artikel Utama

Berdamai dengan Ketidakpercayaan Diri Lewat Buku "Insecurity Is My Middle Name"

24 Juni 2021   20:48 Diperbarui: 26 Juni 2021   20:45 15498
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
image by M. Gilang Riyadi

"Penjahat dalam kisah kita bukanlah ibu tiri yang kejam, teman yang berkhianat, orang-orang yang merendahkan kita. Tapi... our own insecurity."

Seperti itulah kalimat pembuka dalam buku ini sebelum kita benar-benar masuk ke setiap babnya. Berjudul "Insecurity is My Middle Name", karya self-healing pertama dari penulis Alvi Syahrin ini akan membawa kita untuk merenung dan berdamai atas ketidakpercayaan diri yang selama ini melekat pada masing-masing orang.

Insecurity selama ini memang dirasakan pada siapa saja tanpa pandang bulu. Mulai dari usia belasan bahkan hingga dewasa sekalipun. Jenisnya pun beragam. Bisa jadi insecure dengan fisik yang tak semenarik orang lain, keadaan yang tak seberuntung yang lain, hingga rasa minder karena pada usia yang ada saat ini belum mencapai tujuan apa-apa dan seakan hidup hanya begini saja.

Maka, di buku inilah penulis mengajak pembacanya untuk berdamai dan memandang insecurity dengan sudut yang berbeda. Bukan dijadikan sebagai penghambat, namun berbalik untuk membuat diri kita menjadi lebih baik.

Buku ini terbagi menjadi 5 bagian yaitu:

I: Fisik yang Kurang Menarik

II: Masa Depan yang Buram

III: Jauh Tertinggal Dari Teman-Temanku

IV: I Hate My Self

V: Berdamai Dengan Insecurity

Jika ditotal dari bagian pertama hingga akhir, buku ini memiliki 45 bab dengan ketebalan 264 halaman. 

Dan di kesempatan kali ini, saya akan mengulas buku Insecurity is My Middle Name pada masing-masing bagian. So, check this out.

Tentang Fisik yang Tak Good Looking

Fisik bukanlah sesuatu yang utama bagi seseorang, tapi bisa menjadi penilaian pertama ketika kita melihat orang lain.

"Wow, dia cantik sekali." atau "Rahasia perawatan tubuhnya apa ya sampai jadi body goals seperti itu?"

Dan yang kita khawatirkan justru penilaian yang berbalik dari contoh tadi.

"Kamu mulai gendutan ya sekarang." atau "Jerawat kamu kayaknya tambah banyak."

Hal-hal seperti itu yang sebenarnya tak sengaja diucapkan justru akan jadi pisau tak kasat mata yang akan melukai seseorang. Tak jarang, seseorang akan merasa tidak percaya diri dengan fisiknya. Minder, overthinking, lalu berharap keadaan bisa berubah.

Lewat bagian pertama di buku ini, sang penulis akan membawa pembaca pada pemahaman yang mungkin tak terlintas dalam benak kita. Bahwa fisik bukanlah segalanya. Bahwa kita perlu menjadi good looking untuk menjadi orang baik. Mengejar mimpi, pendidikan, juga cita-cita. Semua tak harus tentang fisik.

Contoh nyatanya adalah pengalaman penulis buku ini. Alvi Syahrin sudah dikenal di sosial media Instagram sejak bertahun-tahun lalu dengan postingan kutipannya yang menginspirasi anak muda. Bahkan sampai tulisan ini dibuat, pengikutnya di Instagram sudah lebih dari 500.000.

Apa ia pernah menunjukkan wajahnya? Tidak. Semua postingannya hanya tentang tulisan.

Sebelum buku ini dibuat, ada 3 seri lainnya yang duluan terbit dengan judul: Jika Kita Tak Pernah Jatuh Cinta (2018); Jika Kita Tak Pernah Jadi Apa-Apa (2019); Jika Kita Tak Pernah Baik-Baik Saja(2020). 

Foto: Dokumentasi pribadi
Foto: Dokumentasi pribadi
Ketiga bukunya selalu tersimpan di bagian Best Seller Gramedia. Apa ini karena pengaruh fisiknya yang good looking? Jelas tidak, karena sekali lagi, para pembaca dan pengikutnya di Instagram bahkan tak mengenal wajahnya seperti apa.

Ini menjadi bukti bahwa fisik tidak selalu jadi yang utama. Ada prestasi dan hal lain yang bisa kita asah untuk menjadi daya tarik society. Misalnya saja; mendapat beasiswa, menjadi peringkat 1 di kelas, membuat karya, atau menjadi yang terbaik di tempat kerja dan langsung mendapat promosi untuk naik jabatan.

Dan tentunya masih banyak hal lainnya dalam buku ini yang bisa kita capai tanpa perlu memandang fisik yang harus good looking.

You don't have to be beautiful. You can be talented, and that's still beautiful in some ways.
(Insecurity is My Middle Name, Page 18)

Kekhawatiran Masa Depan

Pada bagian II terdapat 15 bab yang akan menemani pembaca untuk merenungkan diri soal masa depan. Tentang kita yang sering kehilangan motivasi, entah ingin mulai dari mana, hingga belum bisa membanggakan orang tua.

Hal seperti ini memang wajar dirasakan oleh banyak kalangan. Kita merasa kok gini-gini aja dan mulai mengkhawatirkan seperti apa nantinya masa depan jika situasi terus menerus seperti ini.

Beberapa tips ditulis untuk meningkatkan kemampuan produktivitas diri. Setidaknya kita harus mencoba dari 0 dan memahami skill apa yang sekiranya bisa diasah dalam diri pembaca. Misalnya menulis, mendesain, pemograman, pemasaran, kemampuan berbahasa asing atau yang lainnya.

Dari sini kita akan diajak untuk pelan-pelan menemukan kemampuan diri yang tepat dan bagaimana cara untuk mengasahnya.

Selain itu, pada bagian ini masih ada beberapa hal yang dibahas seperti bagaimana membuat diri produktif meskipun dalam posisi pengangguran, juga saat pilihan kita berbeda dari keinginan orang tua.

Do something or do nothing.
(Insecurity is My Middle Name, page 112)

Image by M. Gilang Riyadi
Image by M. Gilang Riyadi

Pencapaian Diri yang Jauh dari Teman

Seseorang dalam usia 25 tahun ada yang sudah menikah, membentuk keluarga kecil dan tinggal di rumah pribadi dengan pekerjaan bergengsi. Sementara itu seseorang lain dengan usia yang sama baru merintis karir di sebuah perusahaan kecil. Satu contoh lagi misalkan, sedang mencoba mengembangkan bisnisnya.

Hal ini tak jarang membuat kaum dewasa muda di usia 20-an merasa minder atas pencapaian yang diraihnya karena melihat contoh lain yang ternyata lebih sukses dan lebih bahagia. Padahal, tidak selamanya pencapaian orang lain harus menjadi tujuan pencapaian kita. 

Maka, di bagian yang terdiri dari 11 bab ini memang sangat cocok kepada pembaca yang masih merasa tertinggal atas pencapaian teman sendiri yang kelihatannya lebih maju.

Sebuah catatan yang sungguh mengena bagi saya sebagai pembaca adalah bahwa masing-masing orang memiliki kompetisinya masing. Jika orang yang kita kenal memang sukses secara karir, itu artinya dia memang berada pada kompetisi karir.

Berbeda dengan orang yang mungkin karirnya biasa saja, namun ia unggul dalam bidang lain, misalnya ia mempunyai bakat seni sehingga bisa menghasilkan tambahan uang dari sana. Berbeda dengan contoh pertama yang hanya memiliki sumber pendapatan dari satu titik saja.

Intinya adalah bahwa masing-masing orang bisa unggul dalam kompetisi yang berbeda. Saya bisa unggul di kompetisi A, namun teman saya unggul di kompetisi B. Tidak perlu memaksakan untuk mengejar pencapaian orang lain. Cukup dengan mengembangkan potensi diri untuk mencapai satu kompetisi.

I want you to keep on trying even though you don't want to try. 'Cause I'm rooting for you. 'Cause we need more good people like you in this world (Insecurity is My Middle Name, Page 186)

Membenci Diri yang Tak Sempurna

Pada bagian IV yang hanya terdiri 3 bab ini benar-benar mengajak pembaca untuk merenungkan diri. Kadang, kita membenci diri sendiri karena tak sempurna. Tak ada yang bisa dibanggakan.

Dan di bab ini pula pembaca diajak untuk memandang diri sendiri pada agama yang kita peluk. Seperti, sudahkah kita menjalankan semua perintah-Nya? Dan bagaimana jika ini hari terakhir kita? Sementara kita masih disibukkan dengan menghkawatirkan diri tanpa memikirkan soal kehidupan setelah kematian.

Jika ini hari terakhirmu, apakah hal-hal yang kau risaukan itu masih berarti? (Insecurity is My Middle Name, Page 232)

Berdamai dengan Insecurity

Dan inilah bagian akhir dari perjalanan bersama Insecurity. Tentunya di 4 bab terakhir ini, kita akan diajak untuk mencoba berdamai dengan semua insecurity yang kita punya. Entah itu soal fisik, masa depan, hingga pencapaian diri saat ini.

Insecurity justru bisa dijadikan sebagai motivasi diri untuk membuat diri lebih baik. Misal kita merasa pencapaian kita tidak seperti orang lain. Bukan berarti kita hanya bisa diam dan menunggu saja, kan? Setidaknya kita tetap melakukan yang terbaik bagi diri sendiri karena hidup memang penuh dengan perjuangan.

Contoh lainnya misalnya soal fisik. Jika kita insecure karena berat badan kita yang kurang ideal, tentunya kita akan mencoba untuk meraih berat badan yang lebih baik, bukan? 

Mungkin jika bukan insecurity tadi, seseorang tak akan peduli dengan postur tubuhnya karena merasa sudah sempurna. Jadi bisa dibilang juga bahwa insecurity ini adalah penggerak awal bagi kita untuk melakukan sesuatu.

Tapi, bagaimana jika insecurity adalah sinyalmu untuk berkembang? (Insecurity is My Middle Name, Page 240)

***

Nah, itulah tadi ulasan singkat dari kelima bagian buku Insecurity is My Middle Name. Buku ini sangat cocok dibaca oleh kalangan remaja hingga dewasa muda yang masih sering merasa tidak percaya pada diri sendiri dan berdamai dengan insecurity itu sendiri secara perlahan. Selain itu pun, akan ada beberapa potongan ayat Al-Quran dan Hadist untuk mengingatkan kita kepada sang Pencipta.

Untuk Kompasianer yang juga ingin memiliki buku ini bisa memesan lewat online dan bisa juga didapatkan di toko buku Gramedia pada jadwal yang sudah ditentukan.

Akhir kata, terima kasih sudah mampir dan menyempatkan baca. Sampai jumpa di tulisan selanjutnya!

-M. Gilang Riyadi, 2021-

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun