Mohon tunggu...
M. Gilang Riyadi
M. Gilang Riyadi Mohon Tunggu... Penulis - Author

Movie review and fiction specialist | '95 | contact: gilangriy@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Toxic, a Ghosting Story

14 Maret 2021   19:56 Diperbarui: 14 Maret 2021   20:13 1624
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bukankah setiap tindakan manusia selalu didasari dengan alasan? Termasuk tentang kepergian tanpa pamit yang hilang dari kehidupan seseorang tanpa persiapan apa-apa. Salahnya adalah, aku tidak menjelaskan alasan tersebut kepada orang yang aku tinggalkan. Dia terperangkap dalam ketidakmengertian atas pilihanku yang serba tiba-tiba.

Semua bermula di hari pertama ketika kami bertemu dua tahun lalu. Kala itu aku yang berkerja di salah satu supermarket terbesar di kota sedang menjaga bagian kasir dengan seragam kemeja biru muda berlengan pendek. Sebenarnya jobdesk utamaku ada di bagian inventory. Namun untuk melayani konsumen seperti ini merupakan hal dasar yang harus dimiliki semua karyawan di bagian manapun.

Seorang perempuan muda, mungkin sekitar 20 tahunan, membawa belanjaannya yang disimpan di keranjang warna merah. Tidak terlalu banyak. Total pembeliannya pun tak lebih dari dua ratus ribu. Jumlah yang kecil untuk sekelas supermarket megah seperti ini.

"Terima kasih untuk kunjungannya, Mbak. Ditunggu kedatangannya kembali," kataku  setelah transaksi selesai.

Tak kusangka ternyata pertemuan bersama perempuan itu berlanjut. Ia sering datang ke supermarket untuk membeli banyak kebutuhan harian. Kebetulan juga aku sedang berjaga di bagian counter sehingga membantunya untuk menemukan barang yang sedang dicari. Sampai di satu titik, aku memberanikan diri untuk mengajaknya kenalan.

"Nama aku Raka," kataku saat kami ada di lantai dua. "Kalau kamu butuh apa-apa di sini, bisa ke bagian informasi dan cari aku."

"Rakaditya?" tanyanya yang membuatku sedikit bingung. "Dari name tag kamu."

Saat itu juga kami tertawa karena menyadari kekonyolanku. Senyumnya yang menghipnotis ternyata menjadi candu yang harus terus kukonsumsi. Maka aku tak bisa hanya mengandalkan momen kebetulan untuk bertemu dengannya. Mengambil langkah untuk pertemuan lain di luar jam kerja menjadi pilihan yang ia setujui. Kami intens bertemu, saling berbagi cerita hidup, hingga aku benar-benar dibuat jatuh padanya.

Pada satu kesempatan, yang aku ingat di bulan ke-3 kami kenal, aku memberanikan diri untuk mengungkapkan perasaan. Di dalam mobil dalam perjalanan pulang mengantarnya ke rumah, dia tak terlalu terkejut dan merespons dengan senyum malu yang menurutku sangat manis. Akhirnya, aku berhasil membuatnya menjadi milikku.

Hubungan yang terus berjalan hingga lebih satu tahun ini sebenarnya berjalan baik tanpa cacat. Tapi aku sadar bahwa tidak bisa selamanya bertahan dengan cara hubungan yang sebenarnya membawa pengaruh buruk, terlebih jika dipertahankan lebih lama lagi. Dan pilihan ini yang akan kuambil, menghilang tanpa pamit yang bertepatan dengan mutasiku ke luar kota.

See you next, okay?

Pesan itu kukirim sebelum kereta api berangkat. Duduk sembari mendengarkan musik melalui headset, perlahan aku mulai meninggalkan kota ini untuk memulai kehidupan yang baru. Ada sedikit penyesalan karena cara ini pun sebenarnya ikut memenjarakanku. Namun sepahit apapun langkah yang kupilih, ini masih lebih baik dibanding bertahan dalam hubungan yang tak sehat.

***

Masih di perusahaan yang sama, namun beda kota, aku menjalani hari demi hari tanpa memberi kabar padanya. Meski pesan dan teleponnya yang bertubi-tubi itu selalu mampir hampir setiap malam, sama sekali tak tak membuatku tergerak untuk meresponsnya. Jika memang diperlukan pun, aku hanya akan menjawab seperlunya saja. Sulit memang melewati masa-masa seperti ini. Aku masih sayang, sungguh. Tapi satu hal fatal akan terus terjadi jika aku tetap memilih bertahan. Dan dengan memberi jarak seperti ini, menjadi penghalang yang baik untuk pelan-pelan lepas dari semua ikatan.

Satu hal yang tak kusangka adalah, ternyata dia ada di depan rumah kontrakanku ketika aku baru pulang di jam 9 malam. Ia hanya sendiri, menempuh perjalanan berjam-jam melewati provinsi lain untuk sampai ke sini. Aku kaget, jelas, bahkan menyimpan rindu yang terus tertahan. Tapi aku tetap memilih tenang, menyuruhnya masuk agar kita bisa bicara secara pribadi di dalam.

"Aku kangen!" katanya memeluk tubuhku yang lebih tinggi ini. Aku membalas dengan membelai rambutnya meski terkesan kaku. "Kenapa kamu pergi, Raka?"

"Kita nggak bisa bertahan di hubungan toxic ini, Kinar," jawabku sembari memegang wajahnya.

"Apanya yang nggak bisa? Selama ini kita baik-baik aja, kan? Kalau yang salah memang dari aku, ayo bilang! Kamu nggak bisa selamanya lari sementara aku terjebak dalam pikiran yang benar-benar bikin stres."

"Kamu nggak perlu pura-pura nggak tahu!" kataku mulai membentaknya. "Cepat atau lambat kita akan hancur!"

"Apapun yang terjadi harusnya kita lewati bersama, bukan? Kita bisa."

PLAK!!! Aku menampar keras pipinya yang membuat dia menahan kesakitan. Kinar tak terkejut, juga tak menangis karena tahu bahwa hal seperti ini sudah sering didapatnya. Dia mendekat, memelukku kembali, namun dengan kasar aku melepasnya hingga ia terjatuh di permukaan lantai.

Ya, inilah alasan kenapa aku menganggap bahwa hubunganku dan Kinar tak lagi sehat. Aku tak bisa mengontrol emosi, dan sering melakukan kekerasan fisik sebagai pelampiasan. Dia yang jadi korban justru terus bertahan, menganggap bahwa suatu saat nanti aku bisa berubah karenanya. Padahal, yang memegang kendali adalah aku sendiri, yang bahkan tak yakin bisa berubah secepat itu.

"Kita bisa datangi psikolog kamu yang dulu. Kamu terapi di sana dan semua akan kembali normal," katanya dengan mata sendu.

Aku mendorongnya hingga punggung Kinar sedikit terbentur tembok. Tak ada rasa kasihan atau penyesalan yang aku rasakan. Tapi itu lain lagi ceritanya ketika aku benar-benar sendiri. Semua akan terasa seperti mimpi, padahal aku tahu bahwa ini sebenarnya kenyataan.

"Pergi, Kinar! Pergi dari sini sebelum aku benar-benar menjadi!" Bentakku dengan satu tamparan lagi yang mendarat di pipi kirinya. "Kita harus akhiri ini secepatnya."

Respons selanjutnya benar-benar di luar dugaan. Ia menciumku. Benar-benar mendaratkan bibirnya pada bibirku. Aku tak bisa menahannya. Dengan mata terpejam, aku balas bibirnya itu dengan lebih bertenaga. Jaket dan kemeja seragam pun aku lepas satu persatu agar bisa menyempurnakan malam ini. Oke Kinar, aku menyerah. Kali ini kamu yang menang dan aku akan menuruti keinginanmu.

***

Besoknya aku masuk shift pagi, sehingga sebelum jam 7 sudah harus ada di tempat kerja. Kinar kubiarkan istirahat di kamar dan sama sekali tak kubangunkan. Saat ia sudah terlelap kemarin malam, aku sama sekali tak bisa melepas tubuhnya dalam dekapan. Penyesalan itu memang datang, membuat aku nyaris menangis karena masih belum bisa melepaskannya dari hubungan tak sehat ini.

"We need a risk," katanya sebelum tidur. "Aku akan tetap bertahan."

Begitu sampai di tempat kerja, aku mendapatkan satu pesan darinya yang kembali membuat dada ini sesak.

Jangan pernah pergi lagi.

Sekeras apapun aku berusahan untuk lepas, ternyata sama sekali tak menyurutkan perasaannya. Mungkin dia benar, aku harus tetap bertahan dan menemui kembali psikologku yang sudah lama kutinggalkan. Dengan begitu, mungkin saja sisi gelap dalam diri ini bisa berubah.

Sambil menahan getir dan perasaan yang belum tenang, aku membalas pesan itu.

Tentu. Aku akan ada di sini.

***

Toxic, a Ghosting Story - Selesai

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun