"Kita bisa datangi psikolog kamu yang dulu. Kamu terapi di sana dan semua akan kembali normal," katanya dengan mata sendu.
Aku mendorongnya hingga punggung Kinar sedikit terbentur tembok. Tak ada rasa kasihan atau penyesalan yang aku rasakan. Tapi itu lain lagi ceritanya ketika aku benar-benar sendiri. Semua akan terasa seperti mimpi, padahal aku tahu bahwa ini sebenarnya kenyataan.
"Pergi, Kinar! Pergi dari sini sebelum aku benar-benar menjadi!" Bentakku dengan satu tamparan lagi yang mendarat di pipi kirinya. "Kita harus akhiri ini secepatnya."
Respons selanjutnya benar-benar di luar dugaan. Ia menciumku. Benar-benar mendaratkan bibirnya pada bibirku. Aku tak bisa menahannya. Dengan mata terpejam, aku balas bibirnya itu dengan lebih bertenaga. Jaket dan kemeja seragam pun aku lepas satu persatu agar bisa menyempurnakan malam ini. Oke Kinar, aku menyerah. Kali ini kamu yang menang dan aku akan menuruti keinginanmu.
***
Besoknya aku masuk shift pagi, sehingga sebelum jam 7 sudah harus ada di tempat kerja. Kinar kubiarkan istirahat di kamar dan sama sekali tak kubangunkan. Saat ia sudah terlelap kemarin malam, aku sama sekali tak bisa melepas tubuhnya dalam dekapan. Penyesalan itu memang datang, membuat aku nyaris menangis karena masih belum bisa melepaskannya dari hubungan tak sehat ini.
"We need a risk," katanya sebelum tidur. "Aku akan tetap bertahan."
Begitu sampai di tempat kerja, aku mendapatkan satu pesan darinya yang kembali membuat dada ini sesak.
Jangan pernah pergi lagi.
Sekeras apapun aku berusahan untuk lepas, ternyata sama sekali tak menyurutkan perasaannya. Mungkin dia benar, aku harus tetap bertahan dan menemui kembali psikologku yang sudah lama kutinggalkan. Dengan begitu, mungkin saja sisi gelap dalam diri ini bisa berubah.
Sambil menahan getir dan perasaan yang belum tenang, aku membalas pesan itu.