Mohon tunggu...
M. Gilang Riyadi
M. Gilang Riyadi Mohon Tunggu... Penulis - Author

Movie review and fiction specialist | '95 | contact: gilangriy@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Toxic, a Ghosting Story

14 Maret 2021   19:56 Diperbarui: 14 Maret 2021   20:13 1624
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pesan itu kukirim sebelum kereta api berangkat. Duduk sembari mendengarkan musik melalui headset, perlahan aku mulai meninggalkan kota ini untuk memulai kehidupan yang baru. Ada sedikit penyesalan karena cara ini pun sebenarnya ikut memenjarakanku. Namun sepahit apapun langkah yang kupilih, ini masih lebih baik dibanding bertahan dalam hubungan yang tak sehat.

***

Masih di perusahaan yang sama, namun beda kota, aku menjalani hari demi hari tanpa memberi kabar padanya. Meski pesan dan teleponnya yang bertubi-tubi itu selalu mampir hampir setiap malam, sama sekali tak tak membuatku tergerak untuk meresponsnya. Jika memang diperlukan pun, aku hanya akan menjawab seperlunya saja. Sulit memang melewati masa-masa seperti ini. Aku masih sayang, sungguh. Tapi satu hal fatal akan terus terjadi jika aku tetap memilih bertahan. Dan dengan memberi jarak seperti ini, menjadi penghalang yang baik untuk pelan-pelan lepas dari semua ikatan.

Satu hal yang tak kusangka adalah, ternyata dia ada di depan rumah kontrakanku ketika aku baru pulang di jam 9 malam. Ia hanya sendiri, menempuh perjalanan berjam-jam melewati provinsi lain untuk sampai ke sini. Aku kaget, jelas, bahkan menyimpan rindu yang terus tertahan. Tapi aku tetap memilih tenang, menyuruhnya masuk agar kita bisa bicara secara pribadi di dalam.

"Aku kangen!" katanya memeluk tubuhku yang lebih tinggi ini. Aku membalas dengan membelai rambutnya meski terkesan kaku. "Kenapa kamu pergi, Raka?"

"Kita nggak bisa bertahan di hubungan toxic ini, Kinar," jawabku sembari memegang wajahnya.

"Apanya yang nggak bisa? Selama ini kita baik-baik aja, kan? Kalau yang salah memang dari aku, ayo bilang! Kamu nggak bisa selamanya lari sementara aku terjebak dalam pikiran yang benar-benar bikin stres."

"Kamu nggak perlu pura-pura nggak tahu!" kataku mulai membentaknya. "Cepat atau lambat kita akan hancur!"

"Apapun yang terjadi harusnya kita lewati bersama, bukan? Kita bisa."

PLAK!!! Aku menampar keras pipinya yang membuat dia menahan kesakitan. Kinar tak terkejut, juga tak menangis karena tahu bahwa hal seperti ini sudah sering didapatnya. Dia mendekat, memelukku kembali, namun dengan kasar aku melepasnya hingga ia terjatuh di permukaan lantai.

Ya, inilah alasan kenapa aku menganggap bahwa hubunganku dan Kinar tak lagi sehat. Aku tak bisa mengontrol emosi, dan sering melakukan kekerasan fisik sebagai pelampiasan. Dia yang jadi korban justru terus bertahan, menganggap bahwa suatu saat nanti aku bisa berubah karenanya. Padahal, yang memegang kendali adalah aku sendiri, yang bahkan tak yakin bisa berubah secepat itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun