"Aku... harus diskusi dulu sama keluarga."
Diskusi itu pada akhirnya tak berjalan sesuai rencana. Keluarganya tak mengizinkan apapun cara dan alasannya. Maka, malam itu di dalam mobil di hari Sabtu, aku memiliki sebuah ide gila.
"Kita nggak perlu restu orang tua kamu, karena kita bisa membangun keluarga yang baru cukup berdua aja."
"Naren, itu ide gila."
"Take it or leave it?"
Aku sadar bahwa malam itu telah memberikan pilihan yang seharusnya tak dipilih. Sejak awal, aku dan dia tak perlu memiliki hubungan spesial. Dulu pun aku berpikir bahwa ada alasan lain mengapa Tuhan mempertemukan kami. Namun sekarang aku tahu bahwa apa yang dipertemukan bukan berarti untuk disatukan.
Momen ketika datang ke rumahnya saat Hari Raya benar-benar menamparku keras. Aku terpaksa menyembunyikan kalung salibku untuk tetap menghargai keluarganya. Begitu pula ketika ia disambut oleh keluargaku saat Hari Natal tiba. Meski terlihat bahagia satu sama lain karena bisa berkumpul, sering kali ia tak bisa menikmati sajian yang keluargaku buat karena bertentangan dengan keyakinannya.
Maka hari ini ketika ia berusaha menahanku, aku melepaskannya kuat, lalu kutatap sekali lagi matanya.
"Tolong... jangan ganggu... hidup aku lagi..." kataku pelan namun dengan penuh penekanan. "Aku udah berhasil melewati semua ini, kamu juga pasti bisa."
Ia tak menjawab dan hanya menundukkan kepala. Tak lama, kudengar tangisannya yang mulai menjadi.
Namun pada akhirnya, aku memilih meninggalkan meski ia masih tak stabil. Segera masuk mobil, lalu mengendarainya meninggalkan gedung tua ini. Aku menangis di perjalanan, sungguh, memutar kembali memori waktu itu dalam putaran lambat. Saat dia memilih mundur dari hubungan ini, juga saat aku dengan berat hati harus menyetujuinya.