Pukul enam pagi, aku bersama tiga orang dari tim divisi kejahatan mendatangi rumah tempat kasus perampokan yang terjadi kemarin malam. Beberapa warga sekitar mengeremuni bagian depan lokasi yang terhalang garis polisi. Ada juga rekan media dengan perlengkapan kamera dan mic-nya yang terus menggali informasi tentang kasus ini.
"Raditya, detektif," kataku memperlihatkan identitas pada polisi yang sedang berjaga.
Begitu dipersilakan, langkah kaki membawaku masuk. Rumah mewah berlantai tiga ini masih berantakan dengan banyak barang pecah belah yang sudah jadi kepingan tajam. Jika tak hati-hati dan tanpa perlindungan pada kaki, aku pastikan seseorang bisa terluka.
Tepat di depan televisi berukuran besar inilah peristiwa itu terjadi. Mayat memang sudah dibawa oleh tim forensik. Tapi berbekal foto dan gambaran saat korban tergeletak, aku bisa membayangkan situasinya.
Prahadi, pengusaha kaya di bidang kuliner ini menjadi korban utama. Tubuhnya terbaring kaku dengan luka tusuk pada bagian dada dan perut. Tak jauh dari tempat korban tewas, istrinya terlentang tak berdaya dengan sayatan pada leher yang benar-benar membunuhnya saat itu. Darah berceceran di mana-mana, bahkan di beberapa titik ada yang belum kering.
"Bagaimana dengan kedua anaknya?" tanyaku sembari melihat kembali lembar-lembar foto ini.
"Anak sulungnya berusia 17 tahun tewas seketika di kamarnya, di lantai dua. Terdapat luka tembak pada bagian kening," jawab Ara, satu-satunya perempuan di tim kejahatan ini. Ia membaca dari catatan kecil yang selalu di bawanya itu.
"Dan yang bungsu... berusia 12 tahun, ditemukan pingsan di kamar mandi lantai satu, dekat gudang." Kini giliran Adri memberi informasi, tim divisi kejahatan yang paling muda. Usianya baru menginjak angka 23. "Dugaan sementara ia bersembunyi di sana ketika peristiwa terjadi. Sekarang ia berada di rumah sakit dengan pengawalan polisi dan ditemani juga oleh psikolog."
Terakhir aku mendapat informasi dari Jeremy, tim divisi kejahatan yang lain, bahwa brankas kecil di kamar Prahadi telah dibuka paksa. Emas batang, uang tunai, dan perhiasan bernilai tinggi lenyap tak tersisa.
***
Puluhan lembar foto yang kudapat dari pihak kepolisian masih kuperiksa di rumah, bahkan hingga tengah malam. Beberapa saksi yang sekiranya berhubungan dengan Prahadi sudah kumintai keterangan. Semuanya kurekam dalam ponsel. Dan kini aku sedang mendengarkannya lewat headset sambil mencorat-coret kertas kosong.