"Aku pernah aborsi, Ar," kataku pelan, membongkar rahasia gelap yang tidak banyak orang ketahui. "Semester 6 waktu kuliah, aku hamil. Laki-laki itu justru kabur tanpa bertanggung jawab. Hidup aku berantakan, bahkan hampir bunuh diri. Tapi untung aku bisa bertahan sampai akhirnya lulus kuliah, dan berkarir sampai mau diangkat menjadi kepala cabang sebelum usia 30. Aku harap kamu mengerti kenapa sampai saat ini aku masih belum siap untuk menjalin hubungan."
Dari raut wajahnya, aku bisa melihat bahwa Arga sedikit terkejut mendengar fakta itu. Tidak apa. Sekalipun ia jijik bahkan membenciku, itu adalah risiko yang harus aku terima.
"Aku pernah hampir membunuh adikku." Jawaban Arga justru membuat aku mengerutkan kening. "Kejadiannya udah lama, waktu aku umur 10 tahun dan adik aku 5 tahun. Kita main petak umpet, dia sembunyi di lemari. Tapi ada teman yang datang ke rumah saat itu. Aku pergi tanpa sadar adik aku ternyata pingsan di sana.
"Sama kayak kamu, hidup aku hancur. Orang tua berkali-kali menyalahkan seorang anak kecil yang nggak tahu apa-apa. Aku kabur dari rumah sampai dua hari. Tapi keluarga ternyata bisa menemukan aku dan mereka menangis dan minta maaf sempat menyalahkan aku."
Aku terdiam tanpa kata mendengar cerita Arga. Dari situ aku sadar bahwa kita sama-sama memiliki cerita gelap yang tidak banyak orang ketahui.
Arga menggenggam tanganku, kemudian mata kami saling tatap untuk beberapa saat.
"Aku nggak pernah memaksa kamu untuk menerima. Tapi aku minta, kamu jangan pergi dan hilang tanpa kabar."
"Aku bingung, Ar. Aku nggak tahu kapan akan siap."
"Sa, kamu pernah bilang kalau keluarga kamu selalu mendesak kamu untuk segera menikah. Sekarang, coba pikirkan mereka, terutama Mama kamu. Kamu nggak perlu memikirkan aku, kok. Cukup mereka. Ibu aku meninggal dua tahun lalu. Permintaan terakhirnya ingin lihat anak-anaknya menikah juga. Tapi, aku sama adik aku nggak bisa memenuhi permintaan terakhirnya."
Air mataku tiba-tiba jatuh membasahi pipi. Sosok Mama yang terbaring sekarang menjadi ketakutan terbesarku apabila ia pergi bahkan sebelum aku bisa mendapatkan pasangan hidup. Arga segera duduk di sampingku, kemudian memberikan dadanya untuk tempatku bersandar.
"Aku takut, Ar. Aku takut," tangisanku makin menjadi.