"Dangkal? Menurut kamu aku dangkal? Justru kamu yang udah tenggelam jauh dari batas yang kita buat!"
Ketika pertama kali mengenalnya dari aplikasi Tinder, aku dan Arga menjalani hubungan hanya sebatas teman biasa tanpa ada yang spesial. Kami lebih sering hangout, nonton, dan makan bersama. To be honest, he's hot. Badannya yang begitu ideal benar-benar tipe yang aku inginkan. Ia pun pernah mengatakan bahwa aku juga adalah tipenya; perempuan bertubuh cukup tinggi dengan rambut hitam sebahu.
Lalu, ciuman pertama kami 3 bulan lalu membawa perjalanan ini pada babak baru. Sejak awal, aku tidak menginginkan perasaannya. Aku hanya ingin menikmati tubuhnya dan menjadikannya milikku, begitu pula sebaliknya. Maka, saat itu kita sepakat bahwa hanya akan menjalin hubungan ini tanpa perlu ada status, terlebih rasa sayang.
"Aku tulus, Sa."
"Aku nggak punya perasaan apa-apa sama kamu."
"Sa, kita bisa memulai kembali semuanya dari awal."
"Arga, denger aku. Aku akui, secara fisik kamu adalah laki-laki yang aku mau. Kamu juga mapan dengan jabatan kamu di perusahaan yang sekarang. Tapi untuk masalah seperti ini, aku menyerah. Aku udah lama berhenti memikirkan hal-hal konyol berbau perasaan."
Sifat Arga yang cenderung pendiam memilihnya untuk tidak melanjutkan perdebatan. Ia meninggalkanku setelah mengambil handuk dari lemarinya, kemudian masuk ke kamar mandi. Aku memilih duduk di kasur, menghabiskan susu coklat yang selalu disiapkan Arga sejak sebulan terakhir.
***
"Apa yang kurang sih dari dia, Sa? Ganteng, tajir pula. Bisa-bisanya kamu nolak dia."
Hari itu di salah satu tempat makan cepat saji dekat kantor tempatku bekerja, Nidia mengoceh panjang lebar setelah aku menceritakan hubunganku dengan Arga tempo lalu. Dan sejak itu, aku dan Arga belum berkomunikasi lagi.