Mohon tunggu...
M. Gilang Riyadi
M. Gilang Riyadi Mohon Tunggu... Penulis - Author

Movie review and fiction specialist | '95 | contact: gilangriy@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Melihat Masa Depan Indonesia dari Kasus Meninggalnya Suporter Persija

25 September 2018   06:25 Diperbarui: 26 September 2018   12:48 677
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
image by indosport.com

Hal pertama yang akan saya sampaikan sebagai pembuka tulisan ini adalah... saya laki-laki tapi tidak begitu suka sepak bola. Well, sedikit aneh memang, mengingat mayoritas laki-laki begitu antusias ketika dihadapkan pada permainan ini ataupun sekadar mendukung tim kesayangannya. Bukan berarti tidak pernah main atau tidak punya tim unggulan, hanya saja menulis Kompasiana lebih terasa menyenangkan (Oke, ini ngeles).

Seperti yang Kompasianer tahu bahwa berita yang saat ini sedang viral adalah tewasnya salah satu supporter Persija, yaitu Haringga. Laki-laki yang sengaja datang ke Bandung ini harus menemui ajalnya sendiri ketika ingin menonton pertandingan tim favoritnya tersebut. Mirisnya, ia diperlakukan secara tidak manusiawi oleh oknum supporter Persib. Melihat video-nya saja saya tidak tega.

Nah, sebagai laki-laki yang tidak begitu menyukai sepak bola, hal pertama yang terlintas dalam pikiran saya adalah... Apa segitunya ya ketika kita punya tim favorit? Karena kalau dipikir-pikir, hal seperti ini sudah tidak wajar dilakukan oleh manusia. Tindakan kekerasan hingga menelan korban jiwa seperti Haringga itu sungguh brutal. Bayangkan saja, korban dipukul entah dengan puluhan atau ratusan orang hingga terluka parah (ya, yang akhirnya menghebuskan napas terakhir). Sempat berpikir, mereka semua kerasukan atau bagaimana, sih?

Kita dihadapkan oleh beberapa asumsi netizen yang tentu menuai pro dan kontra. Ada yang berkata, "Salah sendiri ngapain datang ke Bandung sampai harus update di medsos segala." Atau juga komentar seperti, "Bubarkan saja sepak bola Indonesia jika kejadiannya selalu seperti ini". Itu hanya sebagian kecil. Masih banyak komentar netizen atau mungkin para pembaca yang memiliki asumsi sendiri terkait melihat masalah ini.

Netizen (atau pembaca yang memiliki asumsi pribadi) tidak salah kok. Meskipun kalian juga tidak sepenuhnya benar. Ya, sama seperti saya yang menulis ini. Saya melihat dari sudut pandang saya yang bisa saja berbeda dari sudut pandang pembaca atau netizen.

Ketika saya melihat kasus ini, saya sudah lelah memikirkan mana yang benar/mana yang salah ataupun mana yang dibela/mana yang dicela. Mayoritas masyarakat punya pemikiran seperti ini. Mereka bisa berpihak pada satu spekulasi yang menurut mereka benar. Perdebatan para netizen di sosial media pun mulai ricuh. Ada yang bela si A, menyalahkan si B, sebaliknya, atau mungkin lebih rumit lagi.

Yang saya pikirkan adalah...

Akan seperti apa Indonesia di masa depan jika berkaca dari kasus ini?

Hal brutal semacam ini memang bukan kali pertama. Pada ranah sepak bola khususnya, sebelumnya pun pernah terjadi hal seperti ini. Tapi kasus tewasnya seseorang di luar sepak bola yang dikarenakan oleh ego pribadi dan rasa emosi sesaat ternyata tidak kalah tragisnya dari kasus Haringga ini.

Masih ingat dengan kasus kematian pria yang tewas dihajar masa karena dituduh sebagai maling? Padahal, ia meninggalkan seorang istri yang sedang hamil.

Masih ingat juga kasus ketika demo taksi konvensional yang begitu antusiasnya menyerang taksi online? Padahal, ada juga masyarakat biasa yang jadi korbannya karena disangka sebagai taksi online.

Ada juga kasus beberapa tahun lalu yang ketika seorang pelaku begal tertangkap oleh masyarakat. Sayangnya, pelaku begal justru tewas dibakar hidup-hidup.

Oh, atau bagaimana dengan kejadian saat ada penggerebekan pasangan mesum tempo hari lalu? Pasangan tersebut pada akhirnya diarak keliling kampung dengan tanpa pakaian. Sang ketua daerah setempat (saya lupa RT atau RW) ditangkap oleh pihak kepolisian karena dianggap sebagai provokator.

See, dari sebagian kasus kecil di atas dapat disimpulkan bahwa beberapa masyarakat Indonesia itu mudah terpancing emosi. Mereka belum tahu apa yang sedang terjadi itu benar atau salah. Ketika orang-orang heboh melakukan sesuatu, mereka justru menganggapnya benar tanpa berpikir lebih panjang. Yang penting ikutan, pasti dikatakan pahlawan.

Kedua, masyarakat Indonesia pun tidak bisa menerima perbedaan. Kasus Haringga menjadi salah satu contoh yang mencolok. Entah seperti apa sejarah yang dituliskan oleh supporter Persib dan Persija. Yang jelas, dendam keduanya akan terus turun temurun ke keluarga serta kerabat. Bahkan jika bertemu dengan orang lain asal daerah Bandung/Jakarta yang bahkan bukan supporter masing-masing lawan bisa juga dijadikan korban tak bersalah.

Bisa bayangkan apa yang akan terjadi dengan Indonesia di masa depan jika kasus seperti ini masih sering terjadi?

Tidak ada yang menjamin bahwa di masa depan kejadian seperti Haringga tidak akan terjadi lagi. Jika terus dibiarkan seperti ini, dendam antar supporter atupun kubu lain yang sama kasusnya, akan terus mengalir lebih deras di diri masing-masing individu. Dendam akan turun-temurun hingga ke keturunannya. Membentuk dendam baru seakan apa yang dibelanya adalah yang paling benar. Menyimpan dendam ini bukan lagi sesuatu yang salah. Statement nyawa dibayar nyawa akan jadi alasan kuat kenapa kekerasan terus terjadi di negara ini.

Main hakim sendiri pun seolah menjadi hal biasa yang dilakukan oleh masyarakat. Jika ada sedikit hal kecil yang dianggap salah, justru masalah tersebut akan dibuat lebih besar layaknya percikan api disiram oleh minyak tanah.

Perdebatan memang sesuatu yang wajar. Namun sikap egois yang tidak menghargai perbedaan akan menjadi racun antar pihak yang memiliki pandangan tidak sama. Ketika rasa egois ini sudah terlanjur menggerogoti tubuh, segala sesuatu akan dilakukan demi memenangkan ego, termasuk dengan cara yang kotor.

Mungkin hal tersebut tidak hanya terjadi di masa depan, namun juga sudah terasa di masa sekarang. Jika dibiarakan terus-menerus, masyarakat Indonesia bisa benar-benar terpecah belah dari segala aspek. Entah itu politik lah, sepak bola, hukum, atau yang lain. Ya, meskipun saya pun percaya bahwa masih ada juga beberapa masyarakat cerdas yang tidak termasuk dalam golongan ini.

Dengan maraknya kasus main hakim sendiri yang memakan korban tak bersalah, membuat sebagian masyarakat Indonesia harus diberikan pelajaran tentang saling menghargai antar sesama. Di sini pentingnya keluarga sebagai perantara pertama yang akan membentuk kepribadian seseorang sejak dini. Selain keluarga, tentunya peran lingkungan ikut berperan penting. Dengan siapa kita berteman, dengan siapa kita bergaul. Jika memang kita berada di lingkungan baik, kemungkinan besar pribadi kita pun akan terbentuk baik.

Lembaga pendidikan seperti sekolah pun secara langsung diharapkan bisa memberikan pelajaran khusus tentang saling menghargai antar sesama sejak dini. Di mana jika hal-hal ini mulai diterapkan pada usia muda, maka akan bisa membentuk kepribadian seseorang menjadi lebih baik.

Nah, itulah tulisan yang bisa saya sampaikan kali ini. Pendapat saya di atas bisa saja ada yang setuju dan tidak setuju. Namun di luar itu semua, tetaplah jadi pribadi yang selalu berpikir positif serta menghargai sesama manusia. Karena dengan menghargai orang terlebih dulu akan membuat orang tersebut pun menghargai kita.

Akhir kata, sampai jumpa di tulisan selanjutnya! :)

-Gilang Riyadi, 2018-

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun