Mohon tunggu...
M. Gilang Riyadi
M. Gilang Riyadi Mohon Tunggu... Penulis - Author

Movie review and fiction specialist | '95 | contact: gilangriy@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | "Playlist 05, Too Much to Ask"

7 Juni 2018   23:01 Diperbarui: 7 Juni 2018   23:21 662
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku ingat, ketika hidup di panti asuhan pada usiaku yang ke sembilan, Ibu memberikanku gitar akustik berwarna maroon. Tidak, ia tidak menemui anak laki-lakinya ini secara langsung. Ibu hanya menitipkan gitar itu pada jasa ekspedisi yang datang ke panti ketika matahari sedang berada di puncaknya. Yang menerimanya saat itu adalah Bunda, salah satu orang yang mengurusku di sana.

Ada amplop yang sengaja ditempel di permukaan gitar. Tulisannya Untuk Gandi, namaku.

Bunda dan aku sangat semangat ketika menerima paket itu. Kami berdua kemudian membuka lembar kertas yang ada di dalam amplop tersebut. Tulisan rapi itu, kata Bunda, sama dengan tulisan yang disimpan ketika aku ditinggal sendirian di depan pintu panti asuhan ini saat malam hari. Itu artinya, pengirimnya sama.

Hai, Gandi, apa kabar? Selamat ulang tahun, ya. Maaf Ibu kasih hadiahnya telat. Ibu lagi sibuk akhir-akhir ini.

Dulu Ibu pernah memimpikan punya anak yang jago musik. Lalu ketika melihat gitar ini, Ibu jadi ingat kamu.

Tenang, Ibu tidak akan memaksa. Jadilah diri sendiri seperti apa yang kamu inginkan.

Gandi, Ibu tahu kamu rindu dan ingin sekali bertemu dengan Ibu. Tapi, ini bukan waktu yang tepat. Ibu masih belum siap untuk bertemu denganmu secara langsung.

Ingatlah ini, kita akan bertemu 10 tahun lagi pada usiamu yang ke-19. Ibu berjanji.

***

Ketika melihat layar ponsel, aku sadar bahwa waktu yang dijanjikan ibu 10 tahun yang lalu akhirnya tiba. Ya, hari ini usiaku tepat menginjak angka 19. Usia yang bukan dikategorikan sebagai anak-anak lagi, bahkan remaja. Ketika memikirkannya, perasaanku tak karuan. Mulai dari takut, tegang, senang, hingga marah.

Tapi yang lebih penting, apakah Ibu benar akan memenuhi janjinya?

Hari itu di kafe tempatku bekerja, aku menemui Rena yang merupakan seorang pianis dari band yang kami bentuk. Aku vokalisnya yang terkadang juga memainkan gitar akustik. Sementara posisi gitaris utama adalah Yuda, namun dia belum datang saat ini.

Waktu menunjukkan pukul 4 sore. Belum banyak pengunjung datang. Di bulan Ramadan seperti ini, kafe akan mulai ramai pada jam 5 ke atas.

"Ibu akan datang ke kafe tempat kamu kerja sekitar jam 7 malam," kata Rena mengeja tulisan yang ada di ponselku. "Really? Apa selama ini Ibu kamu tahu bahwa seorang Gandi bekerja di sini?"

"Aku masih belum yakin. Tapi kemungkinan besar iya. Email dari orang yang tidak kukenal itu aku terima pagi tadi."

"Aku rasa selama ini Ibu kamu sering datang ke kafe hanya untuk melihat keadaan kamu. Bisa saja ia berpura-pura sebagai pengunjung biasa yang diam-diam meperhatikanmu dari jauh. Mendengar kamu bernyanyi pada malam Minggu, misalnya."

Aku berpikir sejenak. Spekulasi yang terlalu banyak mengisi pikiran membuatku tidak bisa menebak mana yang mungkin terjadi atau yang mungkin tidak terjadi. Mengenai pengunjung yang datang, aku tidak sampai memperhatikan mereka satu persatu. Tugasku hanya membawakan lagu di sini bersama band di hari-hari tertentu, tentunya yang kusesuaikan dengan jadwal kuliah.

"Jangan terlalu berharap. Aku cuma nggak mau kamu kecewa."

"Yang aku mau cuma melihat siapa Ibu aku, Ren. Nggak lebih. Bahkan aku nggak berharap dia mau hidup bersama aku dalam sebuah keluarga bahagia layaknya orang lain di luar sana."

Di tengah percakapan serius itu, ponsel Rena berdering. Ia mengangkat penggilan tersebut di depanku tanpa harus izin menjauh.

"Eh Bos, gimana? Oh gitu... Hmmm sekitar 3 lagu buat hari ini. Hah? Yuda absen? Oke deh aku ngerti. Sipp, see you."

"Jadi... ada apa?" tanyaku konfirmasi. Padahal aku tahu siapa yang menelepon dan apa yang barusan dibahas Rena.

"Kemungkinan besar Bos nggak akan datang. Itu artinya kita bisa makan lebih takjil gratis yang disediakan kafe. Tapi kabar buruknya adalah... Yuda nggak akan datang hari ini. Dia mendadak sakit. Itu artinya, kamu harus main gitar."

Aku tersenyum. Itu artinya hari ini aku bisa menggunakan gitar maroon pemberian Ibu.

***

Di kafe ini ada sebuah panggung kecil khusus yang disiapkan untuk acara musik seperti sekarang. Aku sudah berdiri di sana dengan gitar maroon yang kupegang. Rena di sebelahku duduk mulai memainkan tuts pianonya mengawali iringan musik. Banyak pasang mata tertuju ke arah kami. Aku sedikit gugup, tapi bukan karena orang-orang ini, melainkan karena aku takut jika Ibu benar-benar ada memperhatikanku tanpa aku tahu.

Waiting here for someone...

Only yesterday we were on the run...

You smile back at me and your face lit up the sun

Now I'm waiting here for someone

Sebagian besar orang hanya fokus pada makanan yang tersaji di meja mereka. Sebagian lagi tampak asyik mengobrol dengan relasinya yang duduk dalam satu meja yang sama. Namun ada juga sebagian kecil yang memperhatikanku. Meski dari kejauhan, aku bisa merasakan tatapan yang tidak biasa itu.

Ada seorang remaja yang terlihat sama usianya denganku. Ada juga seorang ibu muda yang hanya datang bersama anak laki-lakinya yang kira-kira berusia 6 tahun. Terakhir, seorang perempuan berusia 40 tahunan yang datang sendirian. Dia duduk di dekat panggung, sehingga aku bisa melihat jelas bagaimana reaksinya ketika melihat penampilanku.

And oh love.. do you feel this rough?

Why's it only you I'm thinking of

Seketika aku jadi mengingat masa-masa ketika hidup di panti asuhan. Dulu aku pernah berjanji, aku akan melakukan segala cara untuk mencari orang tua kandungku, terutama Ibu. Bahkan janji itu aku tempel di dinding dekat tempat tidur.

My shadows dancing without you for the first time

My heart is hoping, you'll walk right in tonight

Tell me there are things that you regret

'Cause if I'm being honest I ain't over you yet

That's all I'm asking

Is it too much to ask?

Petikan gitar maroon ini menjadi penutup penampilanku dan Rena malam hari ini. Sebagian pengunjung memberi tepuk tangan meriah. Namun bukan itu yang aku cari saat ini, melainkan kehadiran seorang ibu.

***

Sudah jam 10 lewat. Kafe tutup. Tidak menyisakan orang lagi di sini kecuali para pegawainya.

Aku berdiri dekat pintu masuk, meilhat ke arah luar dengan pikiran yang tidak terarah. Rena sempat mengajakku bicara, tapi aku sama sekali tidak berminat.

"Gandi, ke ruang saya dulu bentar. Katanya minggu depan kamu mau libur panjang kan karena ada ujian? Biar kita disukusi untuk masalah waktu."

Aku sampai tidak sadar kalau bos ternyata sudah datang ke kafe. Padahal katanya dia tidak akan datang malam ini.

Kuiikuti langkahnya hingga masuk ke ruangan sederhana miliknya. Pintu ditutup hanya menyisakan kami berdua.

"Ya gitu deh, Bos, mau tidak mau saya harus izin seperti semester kemarin."

Bosku seorang perempuan berusia 38 tahun, tapi wajah dan bentuk tubuhnya masih seperti usia 20 tahunan. Sepertinya bos memang banyak melakukan perawatan kecantikan.

"Itu bukan masalah, Gan. Yang jadi masalah adalah... tanda lahir merah di punggung kamu itu."

Wait, What? Apa masalahnya dengan tanda lahirku ini? Lagipula, dari mana bos tahu bahwa aku memiliki tanda lahir di punggung? Aku kan tidak pernah bertelanjang dada di depannya.

"Saya sudah janji untuk menemui kamu di usia 19. Selamat ulang tahun, ya."

Semua kata-kata itu menjawab semua pertanyaanku. Tapi kini aku jauh lebih tegang dan tidak bisa berkonsentrasi penuh.

"Don't say you are my mom."

Bos tidak menjawab. Ia hanya berusaha mendekat ke arahku.

"Jangan mendekat, please," kataku sedikit mundur.

"Saya tahu saya salah," katanya.

"Aku masih nggak bisa percaya."

Aku mencoba menganggap semua hal ini hanya lelucon di hari ulang tahunku. Tapi tatapan itu sama sekali tidak bisa dibohongi.

"Selain tanda lahir di punggung, kamu juga punya tahi lalat kecil di telapak kaki, kan?"

"Cukup bos, cukup!" jawabku dengan nada tinggi. "Tolong jangan diteruskan. Aku masih belum bisa berpikir jernih untuk saat ini. Maaf."

"Mau kemana kamu, Gandira Putra? Saya belum selesai ngomong. Masih banyak hal yang perlu dibicarakan." tanya Bos mencegahku pergi.

"Kalau masih ada yang harus dibicarakan, kenapa tidak dari waktu itu? Kenapa harus menunggu momen ulang tahunku yang ke-19? Kamu punya banyak waktu yang bisa digunakan selain menyembunyikan identitas seperti ini!"

Sekali lagi, aku membentaknya. Bahkan ini pertama kalinya aku memanggil Bos dengan kata 'kamu'.

Aku langsung keluar dari ruangan dengan air mata yang masih tertahan. Bukan ini momen yang aku harapkan. Semua terlalu tiba-tiba tanpa bisa aku duga sebelumnya.

Rena berpapasan denganku di luar kafe. Ia melihatku dengan tatapan kasihan.

"Are you okay?"

"No, I'm not."

Aku langsung menangis dalam pelukannya, bersiap menceritakan semua kekesalan ini.

***

Playlist 05 selesai...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun