Mohon tunggu...
Gilang Ramadhan
Gilang Ramadhan Mohon Tunggu... Penulis - Bachelor of Education in Indonesian Language and Literature, Indraprasta University, Jakarta

Omon-omon puisi dan sekenanya.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Kota yang Berderak

12 Januari 2025   20:18 Diperbarui: 12 Januari 2025   20:18 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Lalu Lintas Kota. Sumber: Pexels.com/El Jusuf

(1)

Di bawah langit Jakarta yang kusam,  
aku menghitung deru motor seperti mantra patah:  
satu untuk pagi, dua untuk macet,  
tiga untuk jembatan layang yang menganga.  
Langit di atas bukan biru, tapi abu-abu  
seperti kemeja lusuh yang tak sempat dicuci.  
Aku ingin pergi, entah ke mana:  
mungkin ke gunung yang lupa berdiri,  
di mana udara dingin bisa membungkus hati yang gerah.  

(2)  

Gangguan ini seperti kabel-kabel putus  
yang melilit di tiang lampu jalan,  
menjuntai, menggoyang, hampir jatuh.  
Operator telepon berkata, "Tunggu sebentar."
Tapi sebentar di sini adalah selamanya,  
seperti hujan pertama yang berubah jadi banjir.  
Aku melihat bayangan orang-orang berlari di trotoar,  
memegang payung plastik yang berlubang,  
dan aku bertanya-tanya,  
berapa banyak yang tenggelam hari ini? 

Baca Juga: Dekat Denganmu

(3)

Kita bertemu di bawah halte yang penuh poster sobek.  
Matamu seperti lampu redup di ujung gang gelap.  
Kamu bilang, "Selamat Tahun Baru,"  
dan aku tertawa,  
karena apa yang baru dari tahun ini?  
Bus lewat, menyemburkan debu dan angin kotor,  
tapi kita tetap berdiri,  
seperti dua patung yang lupa cara bergerak,  
menunggu sesuatu yang tak akan datang.  

(4)

Langit meremang,  
lampu-lampu jalan menyala, berpijar kuning pucat,  
seperti mata yang lelah menatap layar terlalu lama.  
Aku membayangkan piring biru raksasa di langit,  
berputar, jatuh, lalu pecah jadi jalan baru,  
bebas dari lubang dan klakson.  
Tapi khayalan itu tenggelam  
seperti suara kuda yang melilit kabel-kabel listrik,  
klakson mereka berubah jadi musik,  
hilang ditelan dengung beton. 

Baca Juga: Angin di Taman Gorky

(5)

Kamu memandangku,  
wajahmu memantulkan cahaya dari papan reklame yang berkedip.  
"Mungkin ini bukan soal gangguan," katamu
"mungkin ini cuma caranya kota ini bernapas."
Aku terdiam,  
seperti lampu merah yang lupa berganti hijau.  
Dan dalam udara malam yang lengket,  
di antara debu dan cahaya yang patah,  
aku merasa segalanya,  
untuk sesaat,  
berhenti.

Jakarta, 2025

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun