Sebelum tidur, aku melihat Jakarta dari jendela kecil kamar. Lampu-lampu kota berkelap-kelip seperti isyarat Morse, mungkin pesan dari masa lalu yang lupa kubaca. Aku berpikir tentang jalanan yang kulewati, tentang suara klakson, gemuruh kereta, dan hujan. Di balik semua itu, aku hanya ingin pulang ke diriku sendiri.
6
Di halte tua Senen, aku duduk dengan plastik kresek hitam, di dalamnya hanya baju kotor dan harapan yang rapuh. Angkot berhenti, supirnya melirik seperti mengenalku, tapi aku diam, tak naik, tak bergerak. Aku lebih suka menunggu, mungkin sesuatu, mungkin seseorang yang tak pernah tiba.
7
Di perempatan Kuningan, lampu merah menyala lama, pengamen kecil memetik gitar dengan senar yang hampir putus. Lagunya tentang hujan, tentang rindu yang terjebak macet. Aku memberinya receh, lalu menatap langit kelabu, menyadari bahwa hari ini hujan hanya akan jatuh di dalam diriku. Di sana, tak ada payung, hanya genangan.
8
Di pasar ikan Muara Baru, bau laut menempel di kulit, aku menyentuh timbangan tua, licin, penuh sisa garam. Para pedagang berbincang seperti ombak, naik turun, aku mendengar mereka, tapi tak paham artinya. Aku membeli ikan yang sudah mati sejak pagi, seperti harapan yang kutitipkan pada hari-hari yang berlalu.
9
Di terminal Kampung Rambutan, suara-suara bercampur, teriakan calo seperti burung gagak di kabel listrik. Aku memandangi bus penuh debu, kursi-kursinya pengap seperti kenangan lama yang tak pernah dibersihkan. Tapi aku tetap naik, tak peduli tujuannya: hanya ingin jauh, lebih jauh dari apa yang kutinggalkan.
10
Sebelum subuh, aku berjalan di gang sempit, pintu-pintu rumah tertutup, hanya anjing liar yang terjaga. Aku menatap lampu neon yang bergetar, hampir padam, seperti kota ini, seperti aku. Di ujung jalan, ada cermin kecil pecah di pinggir trotoar, aku melihat diriku di sana, terpotong-potong oleh garis waktu yang retak.