Mohon tunggu...
Gilang Ramadhan
Gilang Ramadhan Mohon Tunggu... Penulis - Bachelor of Education in Indonesian Language and Literature, Indraprasta University, Jakarta

Omon-omon puisi dan sekenanya.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Pneumatik Jakarta

25 Desember 2024   11:22 Diperbarui: 28 Desember 2024   20:44 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Lanskap Apartemen. Sumber: Pexels.com/Alifia Harlina

1.

Di atas trotoar yang retak, aku berdiri,
memandang lampu merah berkedip,
seperti jantung lelah yang lupa ritme.
Kematian, pikirku, bukanlah jurang,
tapi gorong-gorong penuh sampah.

2.

Di bawah flyover, suara klakson jadi doa,
bercampur debu dan panas,
orang-orang berjalan dengan muka kusut,
mengantongi nama dan cerita mereka,
mencari celah di antara macet yang tidak berakhir.

3.

Bank, kata orang, adalah pintu surga.
Masukkan data, klik submit,
dan impianmu melesat seperti uang dalam tabung pneumatik.
Tapi aku tahu,
tidak semua nama cukup kuat untuk sampai ke atas.

4.

Malam datang dengan neon yang berkedip,
lampu jalan menyalakan bayangan tinggi,
seperti hantu yang merenung di pinggir warung kopi.
"Minum dulu," kata ibu penjaga.
Aku hanya tersenyum, menyembunyikan lelahku.

5.

Langit Jakarta adalah televisi rusak,
bintangnya hilang, diganti reklame,
iklan pinjaman cepat, bunga ringan,
seperti janji yang terus menipu,
mendorong kita lebih dalam ke lubang gelap.

6.

Aku memikirkan kematian seperti naik bajaj,
berisik, tak terduga, tapi penuh warna.
Setiap belokan adalah teka-teki,
setiap hentakan mengingatkan
bahwa kita masih bergerak, walau tersendat.

7.

Ada saatnya aku ingin tidur,
melupakan suara motor dan obrolan tetangga.
Tapi cahaya dari jendela selalu menyelinap,
membisikkan kisah orang-orang yang masih berjalan,
mencari makna dalam malam yang tak kunjung hening.

8.

"Jakarta tidak tidur," kata sopir taksi,
matanya merah, tapi penuh semangat.
Aku tersenyum kecil, setuju dalam hati.
Mungkin karena kita terlalu takut mati,
hingga memilih tetap terjaga, melawan waktu.

9.

Di depan gang sempit, aku berhenti,
menghitung langkah menuju pintu rumah.
Seseorang tertawa dari dalam warung,
suara televisi dan ceret mendidih bergema,
seolah hidup ini hanya jeda, bukan tujuan.

10.

Aku tak ingin lagi memikirkan akhir,
seperti jalan tol yang selalu macet di ujungnya.
Biarkan aku berjalan di gang kecil ini,
menyapa setiap wajah yang aku kenal,
sambil membawa nama dan cerita dalam kantong.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun