Mohon tunggu...
Gilang Ramadhan
Gilang Ramadhan Mohon Tunggu... Penulis - Bachelor of Education in Indonesian Language and Literature, Indraprasta University, Jakarta

Omon-omon puisi dan sekenanya.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Setelah Tarian Kembang Api

16 Desember 2024   20:37 Diperbarui: 16 Desember 2024   20:37 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Kembang Api. Sumber: Pexel.com/Energepic

1.

Huruf-huruf jatuh dari layar ini, bergelinding ke lantai seperti kelereng kecil. Kertas merah muda di meja dapur, kusut, berbau asap, menyimpan sisa-sisa janji yang tak sempat ditukar.

2.

Ada daftar belanja di lemari es, "bayam, wortel, jahe" tertulis rapi dengan spidol hitam. Tapi siapa yang peduli? Hari-hari membara lebih cepat dari air yang mendidih.

3.

Di ruang tamu, kenangan menari di atas karpet kusam. Tawa kecil dari foto yang terlalu lama dibiarkan, sekarang membisu, membakar dirinya dalam bisik-bisik waktu.

4.

Langit di luar jendela oranye, seperti lidah api yang mengecap; menelan ranting, daun gugur, dan senja itu sendiri. Aku memandangnya, diam, merasa jadi debu kecil di tengah badai.

5.

Ketidakhadiran terasa nyaring malam ini. Kursi kosong di sudut ruangan, cangkir kopi yang lupa dicuci, dan sepatu lama yang tak pernah lagi berjalan. Mereka bicara lebih keras dariku.

Baca Juga: Buncis di Panci Warisan

6.

Aku mencoba memulai ulang. Mencari angka pertama di kalender yang baru. Tetapi lembar-lembar itu terasa licin, seperti tangan yang meloloskan pasir. Hari hanya sebuah teka-teki tanpa petunjuk.

7.

"Kenapa kita membiarkan begitu banyak hal terbakar?" Aku bertanya, tapi hanya pada bayanganku. Jawabannya menggantung, seperti asap rokok yang terjebak di tirai tua. Udara beraroma kehilangan.

8.

Aku berjalan di trotoar basah, daun-daun gugur berkeresak di bawah langkahku. Hanya malam yang berbicara, mengisahkan sesuatu tentang masa lalu yang tak bisa diraih kembali.

9.

Di akhir jalan, aku berhenti, memandang pohon tanpa daun: rangka tipisnya menari melawan angin. Apakah ini kita? Hanya sisa-sisa yang masih berdiri.

10.

Ketika nyala api akhirnya padam, hanya kerikil kecil yang tersisa. Dan gema hal-hal yang tak pernah dilakukan, berderak pelan di sudut ingatan. Aku menarik napas panjang, membiarkan keheningan mengisi celah yang tertinggal.

Baca Juga: Di Ambang Nama

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun