Mohon tunggu...
Gilang Ramadhan
Gilang Ramadhan Mohon Tunggu... Penulis - Bachelor of Education in Indonesian Language and Literature, Indraprasta University, Jakarta

Omon-omon puisi dan sekenanya.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Buncis di Panci Warisan

16 Desember 2024   15:48 Diperbarui: 16 Desember 2024   15:48 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

: untuk istriku

1.

Di dapur sempit, waktu melesak di antara dinding. Aku rendam buncis, airnya keruh, mengambang seperti sejarah: keras kepala, menolak empuk, meski direndam di malam yang panjang.

2.

Pisau tua mengiris daging keras,
garis-garis merah membeku di mata pisau.
Aku dengar gajiku dipotong lagi;
setiap serat daging yang lepas
adalah angka yang lenyap dari slip gaji.

3.

Buih dari buncis pecah,
menggelegak, menampar tepi panci.
Setiap letupan adalah cerita yang tidak selesai,
dibaca dengan mata lelah,
diulang di bawah lampu dapur
yang tidak pernah padam.

4.

Jari-jariku, pecah oleh panas,
bertemu dengan generasi perempuan sebelumku,
yang juga membakar tangan mereka
di atas panci warisan.
Setiap lecet, simbol tangan yang melawan
sistem yang menunduk.

5.

Teori? Aku meliriknya di rak buku,
tertutup debu.
Di sini, aku meramu rasa:
bukan jargon, bukan kategori besar
yang melayang-layang
seperti asap di udara.

Baca Juga: Di Ambang Nama

6.

Aku tahu mereka tidak ingin mendengar
keluh seorang perempuan di dapur.
Namun panci ini penuh:
buncis, rasa asin, sedikit rasa pahit,
seperti sejarah yang enggan larut.
Aku masak, bukan bicara.

7.

Buncis-buncis itu menyerap rasa.
Mungkin inilah caranya bertahan:
meresap yang pahit, menerima asin,
hingga menjadi sesuatu yang utuh.
Sebuah panci, sebuah siklus.

8.

Tapi aku tahu, ada rasa yang tidak bisa diolah.
Ada bau hangus yang tertinggal di dinding dapur.
Apakah ini warisan?
Bukan panci terbaik,
melainkan kenangan akan hari-hari
yang selalu terasa terlalu panjang.

9.

Aku berdiri, melihat buncis yang tersisa.
Mereka tidak sempurna,
beberapa pecah, beberapa gosong.
Namun aku tahu ini:
setiap pecahnya membawa rasa,
setiap gosongnya adalah cerita.

10.

Di meja, piring-piring berderet. Aku menyajikan buncis yang sederhana: tanpa hiasan, tanpa klaim besar. Ini bukan teori, bukan kategori sosial. Hanya masakan, yang terasa berat di punggungku, namun ringan di lidah mereka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun