1.
Mengalirkan tangan ke arus sungai,
sehelai daun terapung melekat di ujung jari.
Ia bergetar pelan, seperti napas bumi,
bukan luka, hanya tanda kecil
bahwa kau bagian dari sesuatu yang lebih besar.
2.
Duka tiba,
berbunga lebat di musim panas,
panasnya seperti napas di kaca jendela,
meleleh, membuka cangkang kerasnya.
Di dalamnya, hanya rapuh yang salah alamat.
3.
Ada getar yang memanggil,
bukan dari bibir,
tapi dari kedalaman di mana suara tak sampai.
Di sana, kita melihat diri sendiri:
separuh nyata, separuh bayangan.
4.
Apakah yang tak terlihat bisa kau cintai?
Bisakah kau mencintai tanpa melihat?
Keduanya berdiri,
seperti pohon tua di persimpangan jalan,
diam, tapi memberatkan langkah.
5.
Ada sesuatu yang tinggal terlalu lama.
Ia berputar di ruang kecil di dadamu,
melompat, jatuh,
seperti kaset kusut yang terus memutar ulang,
tanpa musik, hanya berisik.
Baca Juga: Rantai Waktu Putus
6.
Setiap wajah menyembunyikan keputusan,
seperti rahang yang terkunci sebelum bicara.
Untuk hidup atau tidak:
tidakkah kita semua terjebak di ujung pertanyaan itu?
Berdebar, tapi tak pernah menjawab.
7.
Di puncak bukit,
kau menyilangkan tangan di belakang punggung,
bukan dengan tali,
tapi dengan pikiran yang terlalu erat,
mengencang hingga tulang terasa.
8.
Kau berguling menuruni bukit,
rumput menerpa wajahmu seperti tamparan,
tapi kau tertawa,
di antara lesatan kecepatan
dan gravitasi yang tak peduli.
9.
Bunga-bunga aster terinjak,
tapi mereka hanya diam,
menunggu sampai ditelan tanah,
menjadi sesuatu yang lain:
sesuatu yang tak lagi bisa disebut adil.
10.
Pada akhirnya,
semua hal yang tak terucap
adalah nama yang terlambat dipanggil.
Ia bersembunyi di sudut pikiran,
menunggu, tapi tak pernah sepenuhnya pergi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H