Mohon tunggu...
Gilang Ramadhan
Gilang Ramadhan Mohon Tunggu... Penulis - Bachelor of Education in Indonesian Language and Literature, Indraprasta University, Jakarta

Omon-omon puisi dan sekenanya.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Di Ambang Nama

16 Desember 2024   12:29 Diperbarui: 16 Desember 2024   12:29 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

1.

Mengalirkan tangan ke arus sungai,

sehelai daun terapung melekat di ujung jari.

Ia bergetar pelan, seperti napas bumi,

bukan luka, hanya tanda kecil

bahwa kau bagian dari sesuatu yang lebih besar.

2.

Duka tiba,

berbunga lebat di musim panas,

panasnya seperti napas di kaca jendela,

meleleh, membuka cangkang kerasnya.

Di dalamnya, hanya rapuh yang salah alamat.

3.

Ada getar yang memanggil,

bukan dari bibir,

tapi dari kedalaman di mana suara tak sampai.

Di sana, kita melihat diri sendiri:

separuh nyata, separuh bayangan.

4.

Apakah yang tak terlihat bisa kau cintai?

Bisakah kau mencintai tanpa melihat?

Keduanya berdiri,

seperti pohon tua di persimpangan jalan,

diam, tapi memberatkan langkah.

5.

Ada sesuatu yang tinggal terlalu lama.

Ia berputar di ruang kecil di dadamu,

melompat, jatuh,

seperti kaset kusut yang terus memutar ulang,

tanpa musik, hanya berisik.

Baca Juga: Rantai Waktu Putus

6.

Setiap wajah menyembunyikan keputusan,

seperti rahang yang terkunci sebelum bicara.

Untuk hidup atau tidak:

tidakkah kita semua terjebak di ujung pertanyaan itu?

Berdebar, tapi tak pernah menjawab.

7.

Di puncak bukit,

kau menyilangkan tangan di belakang punggung,

bukan dengan tali,

tapi dengan pikiran yang terlalu erat,

mengencang hingga tulang terasa.

8.

Kau berguling menuruni bukit,

rumput menerpa wajahmu seperti tamparan,

tapi kau tertawa,

di antara lesatan kecepatan

dan gravitasi yang tak peduli.

9.

Bunga-bunga aster terinjak,

tapi mereka hanya diam,

menunggu sampai ditelan tanah,

menjadi sesuatu yang lain:

sesuatu yang tak lagi bisa disebut adil.

10.

Pada akhirnya,

semua hal yang tak terucap

adalah nama yang terlambat dipanggil.

Ia bersembunyi di sudut pikiran,

menunggu, tapi tak pernah sepenuhnya pergi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun