1
Aku berjalan di antara tembok-tembok bisu,
setiap sudut seperti menghafal namaku.
Langit di atas bukan biru, hanya abu-abu
rapuh yang memanggil, "Ini jalan yang kau pilih."
2
Debu di lantai berbisik, menyusun tanda
yang tak kupahami. Ada suara jauh---
bukan gema, tapi sepotong rindu yang hancur,
seperti lolongan serigala terluka.
3
Di balik bayang-bayang, aku tahu dia ada,
seperti aku tahu darahku masih hangat.
Dia, pengembara yang haus, menanti, seperti aku
menanti: dua takdir yang saling memangsa.
4
Tembok ini mengelilingiku,
seperti jaring laba-laba yang tahu kapan
memeluk dan kapan melepaskan.
Langkahku berat, tapi aku terus,
karena diam berarti tunduk.
5
Andai ini akhir dari segala awal,
di mana aku dan dia bertemu di tengah,
sebuah pertemuan tanpa kata, hanya napas.
Mungkin labirin ini akan runtuh,
atau kami justru menjadi temboknya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H