1
Di taman belakang, kau tunjukkan seekor kepik,
"ini namanya keindahan," katamu,
dengan jari yang ragu menyentuh sayapnya.
Aku tertawa, "Kenapa tidak saja kau bilang merah itu cinta?"
Tapi, di bawah matahari yang remang, aku mulai paham:
cinta selalu punya bintik, dan merah kadang
lebih berarti karena pecahannya.
2
Di sungai kecil itu, kita bicara tentang arus.
Kau bilang air tahu kapan harus menyerah,
kapan harus melawan. Aku tak yakin
tapi mengangguk. Hutan di sekitarnya jadi saksi
dua orang yang hanya bisa diam,
berdiri lebih dekat satu sama lain
daripada apa pun kepada yang lain.
3
"Mana bintik hitammu yang paling indah?" tanyaku.
Kau tertawa, tapi aku melihat air matamu.
"Kita selalu menyukai kekurangan orang lain," katamu,
"seolah itu alasan mereka jadi nyata."
Aku menahan napas, mengingat setiap luka
yang kau pamerkan padaku tanpa kata-kata.
4
Malam itu, kau mengalir di kulitku seperti sungai,
mencari jalan menuju retakan-retakanku.
Hutan jari-jarimu menemukan tempat bersembunyi,
dan aku berpikir, mungkin cinta adalah hal kecil
yang terus menyentuh, meskipun tahu akan terus hilang.
5
Besoknya, aku menemukan seekor kepik
di antara daun basah. Aku memandanginya lama,
mencoba mengerti apa yang membuatnya indah,
seperti aku mencoba mengerti kau.
Mungkin, aku pikir, cinta adalah bintik kecil itu
yang tak pernah sempurna, tapi selalu cukup.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H