Di Bawah Pohon Kapas
Di sini, angin danau menyapa wajahku,
di antara pohon kapas yang diam,
aku mendengar suara burung yang tak tampak,
menyusuri jejak waktu yang tersisa di tanah basah.
Papan jalan di bawah kaki,
angkat aku sedikit lebih tinggi dari rawa,
seakan mengingatkan---kita selalu lebih dekat
dengan tanah yang kita pijak.
Peta Kota yang Lupa Diperhatikan
Lima puluh meter dari pesisir pantai,
di tepian yang tak tampak di peta kota,
gundukan tanah dan pasir mengingatkan aku
pada pelabuhan yang tak lagi terisi.
Kota ini seperti pohon yang tumbuh sendiri,
menyemai kenangan di tanah yang sudah terlalu lama dilupakan,
sungai yang mengalirkan lumpur---dalam diam,
pada yang terlupakan dari sejarah.
Burung yang Tak Tampak
Burung itu tidak menunjukkan wajahnya,
hanya suara yang berbisik dari kejauhan,
menyusup di antara suara lonceng dan kapal,
suara yang aku coba ingat, tapi tak pernah berhasil.
Dunia ini seperti itu---tersembunyi,
di antara kenangan yang tak lagi kita kenal,
mereka tetap berteriak,
meski kita tak pernah tahu.
Akar yang Menggenggam Tanah
Akar pohon ini menggerogoti batu,
mencengkeram tanah yang keras---
menyerah pada waktu yang tak peduli.
Mereka tidak tahu tentang masa lalu
yang tercatat di batu-batu ini,
hanya tahu bahwa mereka harus tumbuh,
meskipun tepi dunia sudah bergeser.
Kita belajar hidup dalam sisa-sisa itu.
Kita yang Menghitung Langkah
Di jalan papan ini, kita berjalan bersama,
tiga langkah, senyap, seperti orang asing yang saling mengerti,
mengangguk dengan cara kita,
seperti kita sudah mengenal satu sama lain.
Di dunia yang semakin jauh, kita bertanya---
apakah kita bagian dari cerita ini,
atau hanya bayangan yang melintasi ruang,
mencari tempat di dunia yang terlupa?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H