untuk Palestina
Ada sebuah kota yang tidak pernah tidur, meskipun matahari sudah lama tenggelam. Kota itu tidak pernah tenang—tetap berdenyut, terjerat dalam sejarah yang jauh lebih panjang daripada hidup kita, lebih panjang dari selimut debu yang terkumpul di jendela-jendela pecah. Di antara reruntuhan itu, seseorang menyadari: kita tidak akan bebas sampai mereka bebas.
Di luar kota, tak jauh dari perbatasan yang abu-abu, seorang pria berjalan di bawah bulan yang terpecah dua. Bulan itu tampak seperti luka yang tidak pernah sembuh, seperti tanah yang digali dengan harapan, dan harapan itu tak kunjung datang. Tangan pria itu memegang sebongkah batu—tidak terlalu besar, cukup untuk dilemparkan, cukup untuk menghancurkan dinding, atau mungkin hati. Namun, ia hanya memegangnya dengan jari-jari yang terlipat rapat.
Namanya tidak penting, karena kita semua terhubung dalam kesedihan yang sama, di jalan-jalan yang tidak pernah selesai dibangun. Namanya bisa saja Ibrahim, atau mungkin sama seperti nama yang pernah dimiliki oleh anak-anak yang terjatuh ke dalam jurang sejarah. Setiap kali ia menginjakkan kaki di tanah, seolah-olah ada guncangan yang melintasi tubuhnya, mengingatkan bahwa tubuh ini, meski terbuat dari debu dan darah, tak pernah bisa melepaskan dirinya dari jerat yang tak kasat mata.
Pria itu berjalan, menelusuri jalan-jalan yang penuh dengan puing-puing, di mana setiap langkahnya terasa seperti pertanyaan yang belum terjawab. Ia melewati tempat-tempat yang sebelumnya dikenal dengan nama-nama yang hilang. Setiap langkahnya adalah pertarungan antara harapan dan ketidakberdayaan. Di sana, ia melihat sekelompok anak-anak, mereka berlari dengan kebebasan yang tak pernah benar-benar ada. Mata mereka mengamati sekeliling—tak ada yang terlepas dari pengawasan, dan dalam setiap tawa yang terlepas, ada sesuatu yang mati.
“Aku ingin berlari,” kata salah satu dari mereka, seorang anak perempuan dengan rambut hitam yang dikuncir rapi.
“Lari ke mana?” jawab seorang anak laki-laki, suaranya penuh dengan kebingungan.
“Ke tempat yang tidak ada orang yang bisa menghentikan kita,” jawabnya. Suaranya tipis, namun ada sesuatu yang kuat di dalamnya—sesuatu yang lebih dari sekadar harapan kosong.
Pria itu mengamati mereka dari kejauhan, melihat betapa mudahnya dunia ini berputar dalam ketidakpastian. Anak-anak itu berlari, seakan-akan dunia mereka adalah tempat yang bisa diselamatkan hanya dengan keteguhan hati yang tak mengenal waktu. Mereka berlari ke arah yang tidak jelas, tetapi kaki mereka bergerak seperti mengukir jalan baru, mengajak bumi untuk mendengar. Tetapi bumi, seperti dunia lainnya, tidak pernah peduli tentang apa yang diminta oleh yang lemah.
Pria itu melangkah lagi, lebih jauh, ke dalam kegelapan yang menutupi wajahnya. Ia tidak tahu kemana arah ini membawa. Itu adalah malam yang panjang, di mana setiap bayangan tampak lebih hidup daripada kenyataan. Ada desiran angin yang terdengar, meluncur antara reruntuhan. Angin itu membawa pesan-pesan yang hilang—seperti surat yang terkubur dalam tanah, atau mungkin sekedar kenangan yang tersisa di udara.
Di luar tembok kota, ada tempat-tempat yang dilupakan, tempat yang terjaga oleh diam, tempat yang hanya dihuni oleh mereka yang tak pernah bisa pulang. Rumah-rumah yang hancur, tanpa pemilik, tanpa jiwa, hanya struktur beton yang masih berdiri tegak, berjuang untuk menunjukkan bahwa mereka pernah ada. Mereka mengingatkan kita pada sesuatu yang hilang—sesuatu yang tidak bisa dibangkitkan lagi.
Pria itu berhenti di depan sebuah pintu yang tertutup rapat. Tidak ada suara dari dalam, hanya deru angin yang menggulung melalui celah-celah. Ia merasa tubuhnya terikat di sana—di tempat yang penuh dengan kenangan yang telah mati. Tangan pria itu menggenggam batu itu lebih erat, seperti menyadari bahwa di dunia ini, ada banyak cara untuk merasakan kebebasan—tetapi kebebasan itu tetap tak terjangkau.
Sebuah suara terdengar dari balik pintu, suara seorang perempuan, lembut, tetapi penuh dengan kepedihan. “Kita tidak akan bebas sampai mereka bebas.”
Kata-kata itu jatuh seperti batu yang terlempar ke dalam air. Mereka tidak menguap begitu saja. Mereka berputar-putar di dalam pikiran, mengguncang dinding yang belum sempat runtuh. Pria itu mengingatkan dirinya sendiri bahwa ia sudah terlalu lama terjerat dalam pikiran-pikiran yang tidak pernah selesai. Ia bisa merasakannya di dalam tubuhnya—rasa sakit yang menyatu dengan nafasnya, yang tak pernah bisa dipisahkan dari kehidupannya.
Ia ingin berbicara, tetapi kata-katanya terasa tercekik, seolah-olah setiap suara yang ingin keluar dari mulutnya terperangkap dalam ruang yang sempit. Dalam keheningan itu, ia teringat akan suara-suara yang hilang—suara-suara yang seharusnya hidup, yang seharusnya meletus, yang seharusnya menjadi petir di langit yang gelap.
Kita tidak akan bebas sampai mereka bebas.
Kata-kata itu menjadi semakin berat, semakin jelas. Mereka meresap ke dalam jantungnya, dan dalam sekejap, dunia terasa lebih kecil. Sambil memegang batu itu lebih erat, ia akhirnya mengerti. Jalan ini, yang dipenuhi oleh debu dan darah, tidak bisa ditempuh sendirian. Kita semua terhubung dalam penantian yang tak kunjung berakhir.
Ia tidak bisa melangkah sendiri.
Matahari mulai terbit, dan meskipun langit tidak pernah benar-benar cerah, ada cahaya yang mulai menyusup dari celah-celah yang retak. Cahaya itu bukan milik siapa-siapa, tetapi milik mereka yang pernah terlupakan. Dan meskipun langkahnya terasa berat, pria itu tahu bahwa jalan ini, meskipun terjal, tidak pernah benar-benar sepi. Kita semua ada di sini, dan kita tidak akan bebas sampai mereka bebas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H