Di luar tembok kota, ada tempat-tempat yang dilupakan, tempat yang terjaga oleh diam, tempat yang hanya dihuni oleh mereka yang tak pernah bisa pulang. Rumah-rumah yang hancur, tanpa pemilik, tanpa jiwa, hanya struktur beton yang masih berdiri tegak, berjuang untuk menunjukkan bahwa mereka pernah ada. Mereka mengingatkan kita pada sesuatu yang hilang—sesuatu yang tidak bisa dibangkitkan lagi.
Pria itu berhenti di depan sebuah pintu yang tertutup rapat. Tidak ada suara dari dalam, hanya deru angin yang menggulung melalui celah-celah. Ia merasa tubuhnya terikat di sana—di tempat yang penuh dengan kenangan yang telah mati. Tangan pria itu menggenggam batu itu lebih erat, seperti menyadari bahwa di dunia ini, ada banyak cara untuk merasakan kebebasan—tetapi kebebasan itu tetap tak terjangkau.
Sebuah suara terdengar dari balik pintu, suara seorang perempuan, lembut, tetapi penuh dengan kepedihan. “Kita tidak akan bebas sampai mereka bebas.”
Kata-kata itu jatuh seperti batu yang terlempar ke dalam air. Mereka tidak menguap begitu saja. Mereka berputar-putar di dalam pikiran, mengguncang dinding yang belum sempat runtuh. Pria itu mengingatkan dirinya sendiri bahwa ia sudah terlalu lama terjerat dalam pikiran-pikiran yang tidak pernah selesai. Ia bisa merasakannya di dalam tubuhnya—rasa sakit yang menyatu dengan nafasnya, yang tak pernah bisa dipisahkan dari kehidupannya.
Ia ingin berbicara, tetapi kata-katanya terasa tercekik, seolah-olah setiap suara yang ingin keluar dari mulutnya terperangkap dalam ruang yang sempit. Dalam keheningan itu, ia teringat akan suara-suara yang hilang—suara-suara yang seharusnya hidup, yang seharusnya meletus, yang seharusnya menjadi petir di langit yang gelap.
Kita tidak akan bebas sampai mereka bebas.
Kata-kata itu menjadi semakin berat, semakin jelas. Mereka meresap ke dalam jantungnya, dan dalam sekejap, dunia terasa lebih kecil. Sambil memegang batu itu lebih erat, ia akhirnya mengerti. Jalan ini, yang dipenuhi oleh debu dan darah, tidak bisa ditempuh sendirian. Kita semua terhubung dalam penantian yang tak kunjung berakhir.
Ia tidak bisa melangkah sendiri.
Matahari mulai terbit, dan meskipun langit tidak pernah benar-benar cerah, ada cahaya yang mulai menyusup dari celah-celah yang retak. Cahaya itu bukan milik siapa-siapa, tetapi milik mereka yang pernah terlupakan. Dan meskipun langkahnya terasa berat, pria itu tahu bahwa jalan ini, meskipun terjal, tidak pernah benar-benar sepi. Kita semua ada di sini, dan kita tidak akan bebas sampai mereka bebas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H