Mohon tunggu...
Gilang Ramadhan
Gilang Ramadhan Mohon Tunggu... Penulis - Bachelor of Education in Indonesian Language and Literature, Indraprasta University, Jakarta

Omon-omon puisi dan sekenanya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kita Tidak akan Bebas Sampai Mereka Bebas

19 November 2024   15:30 Diperbarui: 19 November 2024   15:54 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Protes. (Sumber: Pexels.com/Omar Ramadan)

untuk Palestina


Ada sebuah kota yang tidak pernah tidur, meskipun matahari sudah lama tenggelam. Kota itu tidak pernah tenang—tetap berdenyut, terjerat dalam sejarah yang jauh lebih panjang daripada hidup kita, lebih panjang dari selimut debu yang terkumpul di jendela-jendela pecah. Di antara reruntuhan itu, seseorang menyadari: kita tidak akan bebas sampai mereka bebas.

Di luar kota, tak jauh dari perbatasan yang abu-abu, seorang pria berjalan di bawah bulan yang terpecah dua. Bulan itu tampak seperti luka yang tidak pernah sembuh, seperti tanah yang digali dengan harapan, dan harapan itu tak kunjung datang. Tangan pria itu memegang sebongkah batu—tidak terlalu besar, cukup untuk dilemparkan, cukup untuk menghancurkan dinding, atau mungkin hati. Namun, ia hanya memegangnya dengan jari-jari yang terlipat rapat.

Namanya tidak penting, karena kita semua terhubung dalam kesedihan yang sama, di jalan-jalan yang tidak pernah selesai dibangun. Namanya bisa saja Ibrahim, atau mungkin sama seperti nama yang pernah dimiliki oleh anak-anak yang terjatuh ke dalam jurang sejarah. Setiap kali ia menginjakkan kaki di tanah, seolah-olah ada guncangan yang melintasi tubuhnya, mengingatkan bahwa tubuh ini, meski terbuat dari debu dan darah, tak pernah bisa melepaskan dirinya dari jerat yang tak kasat mata.

Pria itu berjalan, menelusuri jalan-jalan yang penuh dengan puing-puing, di mana setiap langkahnya terasa seperti pertanyaan yang belum terjawab. Ia melewati tempat-tempat yang sebelumnya dikenal dengan nama-nama yang hilang. Setiap langkahnya adalah pertarungan antara harapan dan ketidakberdayaan. Di sana, ia melihat sekelompok anak-anak, mereka berlari dengan kebebasan yang tak pernah benar-benar ada. Mata mereka mengamati sekeliling—tak ada yang terlepas dari pengawasan, dan dalam setiap tawa yang terlepas, ada sesuatu yang mati.

“Aku ingin berlari,” kata salah satu dari mereka, seorang anak perempuan dengan rambut hitam yang dikuncir rapi.

“Lari ke mana?” jawab seorang anak laki-laki, suaranya penuh dengan kebingungan.

“Ke tempat yang tidak ada orang yang bisa menghentikan kita,” jawabnya. Suaranya tipis, namun ada sesuatu yang kuat di dalamnya—sesuatu yang lebih dari sekadar harapan kosong.

Pria itu mengamati mereka dari kejauhan, melihat betapa mudahnya dunia ini berputar dalam ketidakpastian. Anak-anak itu berlari, seakan-akan dunia mereka adalah tempat yang bisa diselamatkan hanya dengan keteguhan hati yang tak mengenal waktu. Mereka berlari ke arah yang tidak jelas, tetapi kaki mereka bergerak seperti mengukir jalan baru, mengajak bumi untuk mendengar. Tetapi bumi, seperti dunia lainnya, tidak pernah peduli tentang apa yang diminta oleh yang lemah.

Pria itu melangkah lagi, lebih jauh, ke dalam kegelapan yang menutupi wajahnya. Ia tidak tahu kemana arah ini membawa. Itu adalah malam yang panjang, di mana setiap bayangan tampak lebih hidup daripada kenyataan. Ada desiran angin yang terdengar, meluncur antara reruntuhan. Angin itu membawa pesan-pesan yang hilang—seperti surat yang terkubur dalam tanah, atau mungkin sekedar kenangan yang tersisa di udara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun