Mohon tunggu...
Gilang Ramadhan
Gilang Ramadhan Mohon Tunggu... Penulis - Bachelor of Education in Indonesian Language and Literature, Indraprasta University, Jakarta

Omon-omon puisi dan sekenanya.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Artikel Utama

Puisi: Badai di Mata

18 November 2024   15:30 Diperbarui: 2 Desember 2024   13:52 450
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

1
Badai di mata,
seribu malam menjerit,
musim panas dingin.
Aku berjalan sendiri,
bulan tetap tak bicara.  

2
Kosmik tak peduli,
miliaran mil sunyi,
kuhitung cahaya.
Lalu blues datang mengintip,
gema jalan penuh luka.  

3
Hutan imaji,
kuda nil jadi unicorn,
dongeng yang retak.
Aku duduk di sudut,
membakar waktu kemarin.  

4
Penyair berdusta,
puisinya dilipat rapi
di saku jaket.
Tragedi, hanya lagu
untuk pengembara mabuk.  

5
Kamar di bulan,
penuh debu mimpi buruk,
pintu terkunci.
Aku mengetuk pelan,
resah itu menjawab.  

6
Langkahku sunyi,
kaca pecah di trotoar,
angin membisik.
"Selesaikan," katanya lirih,
tapi aku tetap diam.  

7
Jarak matahari,
kilometer melayang,
hidup membeku.
Aku masih di sini,
mencari detak yang hilang.  

8
Malam mengubur
semua penyair lelah,
puisi mereka.
Tinta biru mengering,
tapi kesedihan hidup.  

9
Panggung dunia,
lampu mati, adegan
berulang lagi.
Aku ingin berhenti,
tapi akhir tak berakhir.  

10
Dipaku duka,
selimut musim membara,
es di nadiku.
Kadang ingin jadi lain,
tapi siapa yang tahu?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun