1
Badai di mata,
seribu malam menjerit,
musim panas dingin.
Aku berjalan sendiri,
bulan tetap tak bicara. Â
2
Kosmik tak peduli,
miliaran mil sunyi,
kuhitung cahaya.
Lalu blues datang mengintip,
gema jalan penuh luka. Â
3
Hutan imaji,
kuda nil jadi unicorn,
dongeng yang retak.
Aku duduk di sudut,
membakar waktu kemarin. Â
4
Penyair berdusta,
puisinya dilipat rapi
di saku jaket.
Tragedi, hanya lagu
untuk pengembara mabuk. Â
5
Kamar di bulan,
penuh debu mimpi buruk,
pintu terkunci.
Aku mengetuk pelan,
resah itu menjawab. Â
6
Langkahku sunyi,
kaca pecah di trotoar,
angin membisik.
"Selesaikan," katanya lirih,
tapi aku tetap diam. Â
7
Jarak matahari,
kilometer melayang,
hidup membeku.
Aku masih di sini,
mencari detak yang hilang. Â
8
Malam mengubur
semua penyair lelah,
puisi mereka.
Tinta biru mengering,
tapi kesedihan hidup. Â
9
Panggung dunia,
lampu mati, adegan
berulang lagi.
Aku ingin berhenti,
tapi akhir tak berakhir. Â
10
Dipaku duka,
selimut musim membara,
es di nadiku.
Kadang ingin jadi lain,
tapi siapa yang tahu?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H