Mohon tunggu...
Gilang Rahmawati
Gilang Rahmawati Mohon Tunggu... Jurnalis - Sehari-hari menjadi kuli tinta.

*** silahkan tinggalkan pesan *** ** http://www.kompasiana.com/the.lion ** #GeeR

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Tangis Bayinya Marni

10 Oktober 2015   21:58 Diperbarui: 10 Oktober 2015   21:58 256
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

 

Oe...oee...

Suara tangis bayi itu pecah. Lantai dua gedung pengadilan itu lalu mendadak riuh. Ujung telinga para pengunjung mencari asal suara. Termasuk aku, yang sedaritadi sibuk di dunia maya.

“Astaga, suara itu memang suara bayi. Ia tengah menangis di gendongan seorang ibu muda. Di sampingnya tampak seorang jaksa perempuan, turut sibuk mendiamkan tangis bayi. Jadi, ibu muda itu seorang terdakwa?” aku sibuk bergumam, sambil berjalan mendekati mereka.

Dua panitera mengekor di belakangku. Kami pun jadi bergerombol.

“Anak siapa ini? Kok nangis?” tanya Bu Rus, salah seorang panitera.

Sifat keibuannya pun muncul, ia langsung mengambil alih gendongan. Ditimang-timangnya bayi mungil itu.

“Anak saya bu,” jawab ibu muda yang akhirnya kami tahu ia bernama Marni.

Di saat mereka asik berbincang, aku masih sibuk memperhatikan dan bertanya dalam hati. Tentunya tentang sosok Marni. Kulihat pula ada perempuan lain yang ikut duduk di dekatnya. Mereka mengenakan baju yang sama, rompi biru sebagai tanda seorang terdakwa.

Iba yang kurasa membuat bibirku masih mengatup tak bisa bertanya. Kuputuskan hanya mengelus kepala bayinya saja. “Ganteng sekali,” celetukku tanpa sadar.

Padahal aku pun belum tahu, bayi itu berjenis kelamin perempuan ataukah laki-laki. “Astaga, kok keceplosan!” tegurku dalam hati.

Tak ada yang menggubrisku, aku pun memutuskan untuk berbalik arah. Meninggalkan mereka dan mengerjakan pekerjaanku seperti tadi. Menikmati dunia maya.

***

Kedatanganku ke sini bukan tanpa alasan. Pengadilan bagaikan kantor keduaku. Semua persidangan harus kuikuti, untuk kutulis dan kuberitakan. Seperti halnya hari ini, di hari rabu yang agenda sidangnya mengular tak berkesudahan hingga petang.

Matahari sudah berada di atas kepala. Aku sudah mengantongi tiga berita. Kuputuskan untuk berjalan menuju kantin, di gedung sebelah. Saat itu rute yang kulalui melintas di ruang tahanan pengadilan.

“Eh itu Marni lagi, dengan anaknya,” gumamku sembari sontak mengeluarkan kamera dari saku tas.

Jepret!

Berhasil kuabadikan, ia tengah menimang anaknya.

***

Di sela-sela kesibukan pengadilan, aku mencoba mendekati ruang tahanan. Membujuk penjaga agar aku bisa mengobrol santai dengan Marni. Ini karena rasa penasaran yang hampir membuncah.

“Boleh gak yaaa..?” goda penjaga iseng.

Kusodori sekotak rokok, sambil berucap, “Nih bagi-bagi sama penjaga yang lain,”

Koko, penjaga tahanan itu pun nyengir kuda sambil membukakan pintu yang terbuat dari besi berkarat itu. Aku coba menyamankan diri, duduk di samping Marni yang menggendong bayi.

“Kenalin, saya Rahma mbak,” ucapku sambil mengulurkan tangan dan disambutnya hangat.

“Boleh saya ngobrol-ngobrol?” tanyaku, mengelus kepala bayinya lagi.

Marni hanya mengangguk. Lalu, kami tenggelam dalam perbincangan.

***

“Saya melahirkan di tahanan. Apa daya, saya ditangkap pihak kepolisian saat kandungan sudah beranjak 9 bulan. Beruntung, ah anggap saja beruntung. Saat ini adik saya masih bersama saya, meski sama-sama di tahanan. Tapi, setidaknya saya di tahanan ada yang menenami”

“Saat itu, pada malam hari. Rumah saya mendadak kedatangan polisi, ramai sekali. Saya yang lagi menyiapkan makan malam, langsung tersentak keluar rumah. Seluruh ruangan di geledah. Saya panik, suami lagi tidak ada di rumah”

“Dua kantong sabu sudah menjadi barang bukti. Polisi berhasil menemukannya di bawah lemari. Ah, kurang cerdik saya menyembunyikannya”

“Perkenalan saya dengan barang haram itu dari adik saya sendiri. Saat itu saya lagi bertengkar dengan suami, ditambah lagi banyak hutang. Adik menawarkan untuk jualan sabu. Untungnya memang lumayan!”

“Sesekali setiap sabu kiriman tiba di rumah, satu kantong saya sisihkan untuk diri sendiri. Saya ketagihan!”

“Semua masalah, ketika saya mengkonsumsinya seakan hilang. Berlarut-larut seperti itu, saya jadi lupa kalau saya tengah mengandung”

“Perkenalkan, ini anak saya, namanya Berkah. Kelak saya ingin anak ini tak seperti saya dan suami saya. Kehidupannya harus lebih baik, meski sementara waktu harus tinggal di sempitnya blok tahanan.”

***

Sudah waktunya Marni dan adiknya yang telah kutahu bernama Susi untuk menjalani sidang. Hari ini, keduanya mendengar putusan dari majelis hakim. Di ruang persidangan, kulihat mereka sering kali menunduk dan menutup mata. Mungkin saja mereka berdoa, agar putusan majelis meringankan keduanya.

“Mengadili, memutuskan, menjatuhkan pidana penjara selama 10 tahun terhadap terdakwa Marni dan Susi dikurangi selama keduanya menjalani masa tahanan,” tegas majelis hakim.

Deg!

Jantungku seakan berhenti. Mungkin itu pula yang dirasakan keduanya.

Saat itu juga, aku memilih untuk meninggalkan ruang sidang. Menjauhi gedung pengadilan. Diam seribu bahasa.

“Semoga Marni mengambil hikmah dari semua ini, dan Berkah tumbuh menjadi anak yang sholehah,” ucapku dalam hati sembari mengencangkan laju sepeda motorku.

*** S E L E S A I ***

Ilustrasi: Foto Pribadi (Diedit)

***

Fakta yang dibumbui menjadi fiksi

Selamat Membaca!

(GeeR, 10 Oktober 2015)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun