Mohon tunggu...
Gilang Febriano Putra
Gilang Febriano Putra Mohon Tunggu... Seniman - Film Director

Gilang Febriano Putra adalah seorang sutradara, penulis, untuk beberapa iklan, film pendek, dan tvc. Ia lahir di Bukittinggi, Sumatera Barat dan dibesarkan di sebuah desa tepian danau Maninjau. Ia pernah kuliah di salah satu Institut Seni dengan jurusan Telvisi dan Film, karya dokumenter pendeknya pernah diputar pada event Youth Asian Film Exhibition, Guangzhou, Cina.

Selanjutnya

Tutup

Film

Film "A Perfect Fit", Not Perfect Film, Menebak Antagonis dan Karakter yang Lemah

30 Agustus 2021   19:12 Diperbarui: 31 Agustus 2021   00:14 538
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rio yang selalu hadir dalam kehidupan Saski dengan outer kimono yang hanya berbeda warna dari hari ke hari, justru, juga bisa menjadai antagonis. Jika antagonis adalah orang yang membawa masalah, Rio adalah karakter tersebut, memasuki kehidupan Saski dengan memaksa, ia selalu berusaha mengajak Saski dengan paksaan, selalu menentukan jam bertemu dan berpergian tanpa menunggu Saski memberi persetujuan, ya atau tidak. Rio yang membawa masalah hadir diantara Saski dan Deni, tetapi tidak dengan marah - marah dan emosi, kuat kemungkinan kehadiran Rio menjadi dalang perpecahan. Atau karna kekuatan ramalan? Magic dari sisi ritual, tidak magic dari sisi realis.

Dengan 3 tokoh di atas, secara pribadi saya tidak menemukan peran antagonis yang kuat, justru terkesan lemah, cerita yang hanya berusaha menghadirkan benturan demi benturan antara karakter, benturan Saski, Deni, Rio, Tiara, Galih. Benturan tersebut yang dijadikan konflik dalam film, maka jika saya Tarik kesimpulan, film ini adalah romantisme perselingkuhan antara antagonis ke antagonis, dan Deni menjadi yang paling dirugikan.

Hadirnya nama - nama besar yang tampil dalam film ini, sebut saja Cristine Hakim, Yayu Unru, Jajang C Noer, dan banyak lagi, cukup melepaskan rasa rindu terhadap kualitas akting yang luar biasa, kehadiran mereka memberikan perbedaan dalam film, cukup menutupi celah dari akting Deni dengan ala sinetronnya, tetapi, kehadiran nama - nama besar tidak memberi dampak pada cerita film yang mudah ditebak dan berjalan dengan gaya FTV.

  • Visual, Budaya, dan Continuity

Secara visual film "A Perfect Fit" disajikan dengan mengesankan, keindahan Bali yang eksotis dan kekuatan budaya Bali yang menjadi edukasi serta pengetahuan baru bagi penonton. Selain itu, ada budaya lain yang berusaha ditampilkan dalam film, yaitu budaya Makassar, yang cukup untuk memecah kebosanan cerita, serta memberi ruang pada feminisme untuk tampil lebih banyak.

Beberapa point penting dari budaya Bali yang menjadi sorotan, seperti, pembaca lontar, melihat tanggal lahir cocok atau tidak 2 insan untuk menikah, persyaratan budaya yang mutlak, serta aksi gulat lumpur, yang secara keseluruhan bukan lah hal yang umum. 

Tapi, yang menjadi pertanyaan adalah scene gulat lumpur, ketika Rio dan Tiara, sedang berada ditempat Pak Ketut, lalu Deni dan Saski juga hadir di sana, seketika upacara gulat lumpur hadir diantara mereka, Pak Ketut mengajak mereka untuk melihat, dan pertanyaannya adalah, apa semua orang pendatang boleh ikut dalam gulat lumpur dan melampiaskan emosi pada orang yang dituju? Karna kehadiran Rio dan Deni dalam arena tersebut sangat membingungkan, tidak ada dialog, gestur, dan hal - hal lain yang memberi informasi mereka untuk berada dalam arena lumpur tersebut, magic? Bahkan magic pun punya alasan dan latar belakang yang kuat.

Film "A Perfect Fit" memiliki hasil visual yang luar biasa, detail dan warna yang menawan, sudah bisa dipastikan, produksi film ini tidak main - main, sangat luar biasa. Tetapi, kembali pada kalimat awal, tidak ada hal yang sempurna, ada saja kekurangannya, beberapa adegan dalam film justru tidak continuity, adegan Deni dan Saski di atas tebing adalah puncaknya, perpindahan shot demi shot tidak didukung dengan adegan yang baik, celah kecil yang umum, tapi fatal, adegan tersebut menjadi semakin hambar.

  • Menyimpulkan

Karya yang baik adalah karya yang membawa kita untuk mencari referensi lain dan mengenal lebih dalam. Hal tersebut terjadi pada "A Perfect Fit" Saya secara pribadi mencari dan mempelajari budaya Bali setelah menonton film ini. 

Kita mengenal bali sebagai destinasi wisata, tapi kita lupa, betapa kokohnya budaya Bali yang setiap waktu ada jutaan orang dengan budaya dan cara hidup berbeda datang ke Bali, baik itu sebagai wisatawan, atau memilih menetap dan sebagainya, tapi Budaya Bali tetap kokoh dan berjalan baik secara turun temurun.

Selain itu, film ini juga menyuguhkan wardrobe yang memanjakan mata, beberapa pakaian perpaduan budaya dan modernisasi mampu memberikan sesuatu yang berbeda. Motif batik, kain tenun Sumba, dan beberapa wardrobe yang menarik disajikan cukup unik pada film ini, cukup memberi referensi bagi kita dalam dunia fashion.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun