Mohon tunggu...
Gilang Dejan
Gilang Dejan Mohon Tunggu... Jurnalis - Sports Writers

Tanpa sepak bola, peradaban terlampau apatis | Surat menyurat: nagusdejan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Efek Domino Dualisme Tata Kelola Sepak Bola Indonesia

24 November 2020   14:41 Diperbarui: 25 November 2020   20:58 427
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Aliansi Aremania Make Malang Great Again (MMGA) yang diikuti sekitar 2000 orang menggelar aksi damai bentuk kegerahan Aremania atas kasus dualisme yang sudah terjadi selama 9 tahun lamanya dari kawasan Patung Singa hingga Gedung DPRD Kota Baru Malang, Jawa Timur, Senin (16/11/2020) siang. (KOMPAS.com/Suci Rahayu)

Pada musim 2011/2012, kompetisi terbelah dua. Ada versi PSSI, yaitu Liga Primer Indonesia (LPI), dan ada pula versi Komite Penyelamat Sepak Bola Indonesia (KPSI), dengan tajuk Liga Super Indonesia (LSI). Imbas dari konflik kepentingan antara PSSI dan KPSI itu memang sudah selesai sejak lama, namun efeknya masih terasa hingga kini.

Khususnya di Kota Malang, Aremania masih terjebak dalam sengkarut konflik yang diciptakan oleh otoritas tertinggi sepak bola nasional bertahun-tahun silam itu. Pada Senin (16/11), pendukung Arema melakukan aksi turun ke jalan dengan tajuk Make Malang Great Again (MMGA).

Aremania berhasil bersua dengan Wali Kota Malang, Sutiaji, dan orang nomor satu di Kota Malang itu berjanji akan segera bermediasi dengan pihak Yayasan Arema yang sudah lama vakum dan delegasi Aremania. Tentu tujuannya demi menyudahi dualisme dua klub yang kini berkiprah di Liga 3 dan Liga 1, Arema FC dan Arema Indonesia.

Lebih lanjut, Sutiaji berjanji akan membereskan persoalan ini dan akan melacak siapa saja yang tercatat sebagai pengurus Yayasan Arema di Kementrian Hukum dan HAM (Kemenkumham) untuk kemudian pihaknya akan menjembatani dua kubu yang tengah berseberangan dalam hal ini Aremania dengan dua klub beda kasta itu.

Arema bukan satu-satunya klub nasional yang menjadi korban dualisme tata kelola, sebelumnya ada tiga klub lainnya yang pernah terjebak dalam sengkarut kepentingan pejabat PSSI yang saat itu dipimpin oleh Djohar Arifin Husein dan KPSI yang dibidani La Nyalla Mataliti itu, antara lain PSMS, Persija, dan Persebaya.

Pada akhirnya, manuver yang ditempuh oleh klub untuk membereskan benang kusut dualisme tata kelola itu bermacam-macam, agaknya Arema bisa menempuh satu dari banyak cara yang berhasil menyatukan kembali dua kepengurusan beberapa klub yang sempat terhimpit persoalan yang sama.

Persija Tempuh Jalur Hukum untuk Meredam Dualisme Klub

Meskipun kompetisi LSI dianggap sebagai breakaway league dan ilegal karena tidak berjalan di bawah komando PSSI melainkan KPSI, Persija Jakarta yang diisi oleh pemain lama seperti Bambang Pamungkas cs tetap memilih bergabung dengan kompetisi LSI.

Sementara Persija (Jakarta FC) yang dibidani oleh Hadi Basalamah dengan pijakan legal PT. Persija Jaya Jakarta yang sebelumnya diketuai oleh Fery Paulus (FP), mengikuti kompetisi versi Djohar Arifin yakni LPI.

Seperti diketahui bersama, bahwa PT. Persija Jaya kubu Hadi Basalamah yang kemudian diakui oleh PSSI. Namun bila merujuk legalitas, Persija yang dipimpin oleh FP lah yang berhak dianggap sebagai Persija yang asli. Sebabnya, FP baru saja terpilih sebagai ketua umum pada Musyawarah Daerah (Musda) Pengprov PSSI DKI Jakarta, pada 30 Juli 2011.

Tak heran bila saat itu, Jakmania mendukung total Persija yang bermain di LSI dan dikelola oleh FP. Para pendukung Macan Kemayoran itu sempat menggeruduk kantor PSSI saat melakukan mediasi antara Persija LPI kubu Hadi Basalamah dan Persija LSI kubu FP.

Persija versi FP lantas melayangkan gugatan ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Timur, prosesnya cukup panjang yang dimulai 7 Februari 2012 hingga 23 Oktober 2012. Meski demikian hasilnya cukup positif dan berhasil menyudahi dualisme tata kelola di Persija Jakarta.

PN Jaktim memutuskan bahwa PT. Persija Jaya Jakarta yang diketuai FP lah yang berhak menyandang nama Persija Jakarta. Artinya Persija LPI yang dibidani kubu Hadi Basalamah tidak berhak lagi memakai nama Persija.

Pada 17 Maret 2013, saat kondisi sepak bola benar-benar kondusif seperti sedia kala. Akhirnya tim verifikasi Kongres Luar Biasa (KLB) memberikan jatah suara kepada Persija yang dikelola oleh FP cs.

Meski begitu, penolakan tak berhenti begitu saja. Keputusan demi keputusan, baik itu yang dikeluarkan oleh PN Jaktim maupun tim verifikasi KLB menuai gugatan dari kubu seberang yang masih mengakui Hadi Basalamah cs sebagai kepengurusan yang berhak menyandang nama Persija Jakarta.

Pada akhirnya, efek domino dualisme Persija berbuntut pada persiapan mereka jelang mengarungi kompetisi tahun 2013. Beberapa sponsor menarik diri dan imbasnya dirasakan oleh para pemain itu sendiri, upah mereka ditunggak klub. Akibatnya sejumlah pilar seperti Bambang Pamungkas (PBR) dan Ramdani Lestaluhu (Sriwijaya FC) minggat dari Persija.

PSMS Tidak Akui versi RAB

Berbeda dengan Persija yang gerak cepat menyelesaikan sengkarut konflik dua kubu kepengurusan, PSMS Medan masih terjebak dalam dualisme. Seperti halnya klub lain, PSMS menjadi dua versi berkat dualisme kompetisi yang pernah terjadi di Indonesia.

PSMS tandingan lahir pada 27 November 2011, tepat di musim perdana LPI. PSMS versi Rapat Anggota Biasa (RAB) membuka babak baru dualisme klub. PSMS RAB mengaku sah sebab didukung penuh oleh 22 anggota klub di bawah naungan PSMS.

Namun pembina PSMS, Kodrat Shah, tak mengindahkan sengkarut dualisme kepemilikan sebabnya Ia menganggap PSMS hanya satu mengingat dewasa ini klub yang diakui telah berbadan hukum dan tidak mengandalkan suara dari klub (PS) anggota sebagaimana era perserikatan.

"Itu hanya orang-orang liar saya anggap. Bukan dualisme, PSMS tetap hanya satu. Yakni yang berkiprah di Liga 2 dan markasnya di Kebun Bunga. Cerita balik ke belakang profesional perserikatan gak ada lagi," ungkapnya. Seperti dinukil dari IDN Times Sumut.

"[22 anggota] klub yang ada sekarang seharusnya sudah jadi anggotanya Askot Medan, bukan lagi anggota PSMS. Itu sesuai statuta PSSI Sekarang. Jadi tak ada lagi klub yang dibawahnya klub anggota. Melainkan badan hukum dan PT. Kinantan Medan saat inilah yang menjadi badan hukum PSMS," tambahnya.

Sementara itu, ketua Askot PSSI Medan, Iswanda Ramli, juga mengamini apa yang dinyatakan Kodrat Shah, bahwa klub-klub anggota yang bernaung di bawah PSMS mestinya sudah bernaung di bawah organisasi yang dipimpinnya. Lagi pula PSMS tak punya tugas lagi untuk menggelar kompetisi internal sebabnya itu sudah menjadi tanggung jawab askot.

Konon, tahun 2021 mendatang klub amatir atau anggota PSMS itu akan mulai berkompetisi di bawah naungan Askot PSSI Medan. Hingga tak ada lagi dualisme, sebab efeknya terasa ke finansial PSMS sendiri. Tak ubahnya Persija Jakarta di masa lalu, klub berjuluk Ayam Kinantan Medan itu juga mesti rela ditinggal banyak sponsornya akibat dualisme yang tak kunjung selesai.

Revolusi Bonek Mempertahankan Persebaya yang Asli

Persebaya
Persebaya "LPI" (Gambar Disadur dari SejarahPersebaya.com)

Satu lagi klub besar yang terjebak dualisme tata kelola, yakni Persebaya Surabaya, seperti diketahui dualisme klub berjuluk The Green Force itu berlangsung cukup lama mulai 2010 hingga akhirnya Persebaya mendapat sanksi pada 2014 dan baru reda pada tahun 2017.

Per 2014, Persebaya pun tak boleh mengikuti kompetisi resmi PSSI selama tiga tahun lamanya. Persebaya 1927 dan Persebaya yang berkiprah di Divisi Utama, menjadi benang kusut yang menyebabkan mereka terkena sanksi.

Mayoritas Bonek Mania saat itu memilih Persebaya 1927. Sebetulnya benih-benih dualisme Persebaya ini tidaklah ditebar saat konflik PSSI dan KPSI berlangsung. Ceritanya sangat panjang, bahkan dimulai sejak LSI 2009/10.

Kala itu, Persebaya harus melewati babak play off agar bisa terhindar dari degradasi ke Divisi Utama. Lawan yang dihadapi adalah Persik Kediri. Singkat cerita ketika Bonek sudah mendatangi Kediri pertandingan tiba-tiba ditunda. Secara regulasi mestinya tim Bajul Ijo dinyatakan menang Walk Out (WO) 0-3.

Namun sesuatu yang ganjil terjadi, PSSI malah memberikan kesempatan kedua bagi Persik untuk menggelar laga di waktu yang lain dengan venue pertandingan yang dipindahkan ke tempat netral; Yogyakarta. Tapi panitia kembali gagal menggelar laga.

Seperti yang sebelumnya terjadi, tak ada sanksi dari PSSI bagi Persik Kediri, mereka malah memberi kesempatan ketiga bagi pihak Persik untuk menjadwal ulang laga. Kali ini Persik memilih stadion Brawijaya. Namun laga kembali gagal dihelat. Setelah tiga kali gagal, PSSI memberikan solusi jika laga digelar di Palembang saja.

Kali ini giliran Persebaya yang menolak hadir, sebabnya pihak Bajul Ijo merasa berhak atas kemenangan WO. Runyamnya lagi, PSSI bersikukuh bila Persebaya mendapatkan WO karena menolak hadir di Palembang dan terdegradasi ke Divisi Utama musim itu.

Merasa dizalimi dan tidak puas dengan perlakuan PSSI, akhirnya Persebaya memilih mengikuti breakaway league bernama LPI yang digubah Arifin Panigoro bersama beberapa klub besar lain yang juga merasakan kekecewaan yang sama; Arema Indonesia, PSM Makassar, Persema Malang, dan Persibo Bojonegoro.

Pembangkangan ini pun membuat Persebaya dan klub yang membelot ke LPI dijatuhi sanksi. Di sini lah Persebaya tandingan lahir dengan dalih menyelamatkan muka sepak bola Surabaya di kancah nasional, tim ini berisi mayoritas pemain Persikubar Kutai Barat.

Dengan begitu, tim Persebaya yang diisi pemain Kutai Barat itu diakui secara resmi oleh PSSI pimpinan Nurdin Halid. Namun Bonek tak tinggal diam, mereka melakukan perlawanan secara masif.

Selain unjuk rasa, Bonek juga menunjukkan sikapnya dengan mengosongkan stadion saat Persebaya tandingan versi PSSI sekalipun tiket digratiskan dan mereka lebih memilih memadati stadion Gelora 10 November saat Persebaya 1927 bermain.

Keadaan berbalik kala Djohar Arifin terpilih sebagai ketua PSSI yang notabene disokong Arifin Panigoro pada 2011. Status LPI yang diikuti oleh Persebaya 1927 diakui dan dianggap resmi oleh PSSI. Sementara LSI yang dipertahankan oleh KPSI dianggap ilegal.

Tentu kondisi tersebut tak berlangsung lama, Roy Suryo melakukan islah terhadap dua kubu yang tengah berkonflik. Akhirnya lewat manuver ini orang-orang dibelakang layar LPI didepak dan hanya menyisakan Djohar Arifin sebagai ketum PSSI.

Dualisme tata kelola pasca 2013 pun satu persatu mulai pudar, namun bagi Persebaya 1927 mereka tetap menjadi tim antah berantah yang tidak diakui rezim PSSI dan dilarang mengikuti kompetisi juga turnamen di level nasional. Disaat bersamaan, Bonek terus memberi perlawanan dengan mengosongkan stadion, melipat spanduk dan syal untuk menyongsong kematian suri klub kebanggaan mereka.

Disisi lain, gelombang aksi demonstrasi yang dilakukan Arek Bonek 1927 pun semakin tak terbendung. Mereka terus bersuara dan mendesak PSSI menghapuskan cap ilegal pada klub kesayangannya. Pada kongres tahunan PSSI, Bonek hadir dan meminta Persebaya 1927 diakui.

Namun, desakkan tersebut tak langsung dikabulkan. Sebabnya PSSI dibekukkan oleh pemerintah pada 17 April 2015. Imbasnya, setiap keputusan termasuk hasil kongres biasa dan kongres luar biasa, dinilai ilegal.

Tak hanya pergerakan masif demonstrasi, kota Surabaya pun banjir spanduk, isinya tidak lain adalah beragam makian pada federasi. Perlawanan juga berlangsung di meja hijau, Dirut Persebaya, menggugat ke PN Surabaya. Namun demikian, perubahan situasi politik di PSSI dan desakkan di meja hijau tak mengubah Persebaya 1927.

Pada KLB Ancol 10 November 2016 Bonek kembali menggeruduk tempat kongres PSSI. Namun pihak PSSI berdalih bahwa proses membahas Persebaya 1927 dan dualisme klub lain prosesnya digagalkan dalam pemungutan suara. Dalih lain menyebut bila kongres tersebut bersifat pemilihan, bukan kongres tahunan. Artinya hanya khusus memilih ketum PSSI dan tak ada agenda lainnya.

Opsi pembahasan terkait dualisme klub akan dilakukan pada kongres tahunan di Bandung pada 8 Januari 2017. Semangat Bonek untuk menyatukan Persebaya tak surut. Mereka datang dan melakukan aksi di halaman Hotel Aryaduta, Bandung, tempat dimana kongres tahunan berlangsung. Singkat cerita, jerih payah Bonek Mania terbayar. Persebaya 1927 akhirnya kembali diakui oleh PSSI.

Apa yang dilakukan Bonek bisa dijadikan Aremania sebagai referensi untuk menyelesaikan sengkarut konflik dualisme tata kelola. Dengan presisten selama bertahun-tahun mereka terus berjuang menyatukan Persebaya yang terlilit dualisme lewat berbagai aksi. Selamat berjuang Arek-arek Malang!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun