Mohon tunggu...
Gilang Dejan
Gilang Dejan Mohon Tunggu... Jurnalis - Sports Writers

Tanpa sepak bola, peradaban terlampau apatis | Surat menyurat: nagusdejan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

The Stranger dan Sabda Perkawinan

1 September 2020   19:34 Diperbarui: 1 September 2020   19:29 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Kau mau dengar ceritanya? Aku akan sangat senang bila kau berkenan mendengarkan cerita Muller temanku ini. Aku punya tujuh halte lagi untuk bercerita," ujar dia meyakinkanku.

Kebingunganku sore itu kian berseloroh, disebuah bus, aku berbagi tempat duduk dengan seorang perempuan yang mengajakku menikah lalu memintaku buat mendengakan cerita tentang kawannya dari Jerman yang kurasa tak penting-penting amat buatku. Tapi setelah kupikir-pikir lagi, tak ada salahnya juga mendengarkan wanita kesepian bercerita seraya menunggu kemacetan terurai.

Andai saja di bus trans diperbolehkan untuk makan dan minum. Akan kurogoh bir kaleng yang tersedia di tasku. Setidaknya bisa membantu menetralisir kepenatan mendengarkan orang asing bercerita tentang orang asing lainnya. Akhirnya kupasrahkan Ia untuk meneruskan cerita.

"Muller kawan kuliahku di Jerman. Ia seorang yang teoritis dan sangat menentang hal-hal yang berbau teologis. Apapun yang kemudian menurutnya tak masuk akal, Ia takkan mempercayainya. Kupanggil saja Ia filsuf Leipzig. Karena Ia lahir di kota tersebut dan selalu menjelaskan sesuatu hal berdasarkan teori," Ia mulai bercerita.

Sementara aku masih berpura-pura antusias mendengarkan ceritanya yang tak penting itu. Setiap desisan yang berasal dari mulutnya kian lama kian bau alkohol saja rasanya. Aku mulai membangun argumen bahwa Ia mabuk.

Tak berselang lama kupatahkan pula dengan argumen lain bahwa bisa saja Ia mengunyah permen atau menggunakan parfum dengan rasa yang persis. Namun demikian, parfum dan permen macam apa yang bau alkohol? Kecuali dia memang meneguk bir sungguhan atau akulah yang salah mengendus semilir bau tersebut.

Setelah melewati sebuah pasar induk, lalu lintas sedikit lancar. Sementara sisa halte untuk menghentikannya bercerita tinggal 5 lagi. Aku sedikit merasa lebih lega, sebabnya rute macet atau sering kusebut rute merah dari kantor hingga pasar induk telah dilewati selepas memakan waktu 50 menit.

Bus yang kami tumpangi perlahan bergegas, tak lebih cepat apalagi lebih pelan. Jalanan memang belum benar-benar stabil dari lokasi pusat kemacetan di pasar induk tadi. Namun setidaknya ada pemandangan yang bisa kunikmati diluar kaca bus sana selain wajah anggun seorang wanita disebelahku yang mulai membuat perjalanan sedikit absurd.

"Muller pernah berkelakar, bahwa perkawinan merupakan hubungan sakral antara perempuan dan laki-laki yang mesti diakui secara sosial. Maka dari itu, untuk mendapatkan pengakuan awal, Ia melamar kekasihnya di ruang sosial seperti bus," Ia menyambung ceritanya.

Teori yang diadposi dari Muller mulai menarik atensiku buat lebih mendengarkannya secara seksama. Toh logis juga dan agaknya akal sehatnya masih terjaga sehingga persepsiku bahwa wanita disebelahku ini mabuk adalah keliru.

"Jadi kau mengadopsi cara kawanmu itu? Menurutmu ajakanmu menikah kepadaku itu serius atau lelucon saja?" Tanyaku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun