Aku Baskoro, Ibas, begitu cara simpel kerabat dekatku dan kerabat kerjaku memanggilku. Pacarku bernama Maria Larasati, konon siapapun boleh menggunakan nama kecil Maria, Laras, Ara, atau May, terserah, suka-suka saja kuyakin Ia takkan keberatan juga. Ah sebetulnya dia belum tentu pacarku, calon istriku, atau malah bukan siapa-siapa, yang kutahu aku tak tahu apa-apa dan cenderung tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi.
Semua bermula pada suatu sore, tatkala seorang wanita -- yang kini kukenal sebagai Maria -- di sebuah bus trans berbagi sebuah tempat duduk yang hanya tersisa untukku, kurasa dia memerhatikanku sejak di halte tempat kami naik bersama. Ketika itu, kursi hanya tersisa satu dan kupersilakan dia duduk di kursi prioritas, tak lain karena aku lelaki dan dia perempuan. Kau tahu, duduk di bus trans yang penuh itu merupakan beban moral tersendiri.
Berselang satu halte, penumpang yang duduk disebelahnya meninggalkan kursi dengan keadaan kosong. Dan wanita berparas blasteran Indo-Tiongkok itu memintaku duduk lalu mengajakku menikah, demi memecah keheningan kami akhirnya memilih untuk tertawa bersama, seolah-olah menawarkan ajakan menikah kepada orang asing adalah obat penghhilang rasa lelah selepas seharian bekerja.
Ralat, asing tak asing sebetulnya bisa diperdebatkan sebab setiap sore pasca bubaran kantor kami sering bersua di halte tersebut. Sebuah perjumpaan sebagai penumpang bus trans pada umumnya tanpa pernah bercakap-cakap. Wajahnya memang tak asing sebagai penumpang bus trans harian namun ajakan nikahnya itu sungguh asing seumur hidupku.
"Kau tahu Muller?" desisnya memecah keheningan beberapa saat setelah kami memproklamirkan tawa bersama-sama di dalam bus yang dipenuhi orang asing bahkan kami berdua pun stranger satu sama lain.
Kupikir dia orang teraneh yang pernah kujumpai, kau tahu ada ribuan nama Muller di dunia ini. Ada yang menunjukkan eksistensinya lewat sepak bola, diantaranya; Gerd Muller dan Thomas Muller, sejarah gereja juga mencatat nama George Muller sebagai tokoh rohani yang luar biasa di abad ke-19, sementara bidang keilmuan filologi mencatat Friedrich Max Muller sebagai filsuf yang lahir di Dessau-Jerman, bahkan pemimpin NAZI Adolf Hitler pun punya kawan dekat bernama Heinrich Muller.
Aku berupaya menebak-nebak, Muller siapa yang hendak dia maksud. Kurasa dia perlu lebih spesifik. Namun kuyakin dengan kata kunci Muller bahwa Ia tengah menarasikan seorang Jerman tulen. Sebabnya nama Muller identik sekali dengan kultur negeri tersebut.
"Tokoh atau orang terkenal? Berpolitik tidak? Terlalu banyak nama Muller di alam semesta ini. Periode 1996 saja, hasil sensus penduduk di Jerman tak kurang dari 400 ribu keluarga yang memiliki nama itu," pekikku.
Dia yang saat itu belum berkenan menceritakan asal usulnya sendiri bahkan namanya pun belum kuketahui tiba-tiba saja membawaku pada kebingungan lain dengan narasi pertanyaan nama orang yang terasa asing karena tidak spesifik. Taksiranku melihat awal perjumpaan itu, rasa-rasanya entah apa masalah terberat dalam hidupnya atau dunia hanyalah tempat bersenda gurau belaka baginya?
"Kau boleh pilih siapapun Muller yang kau suka. Tapi aku punya kawan dekat dari marga Muller di Jerman. Kurasa dia punya hubungan darah dengan Max Muller. Namanya Adam Bopp Muller, kini bermukim di India untuk melakukan riset fiologi dan linguistik Hindu-Stan. Kau mesti tahu, Ia pernah melamar kekasihnya di dalam bus yang dipenuhi orang-orang asing seperti barusan....." tukasnya.
Belum usai Ia menjelaskan teman yang tak jelas asal-usulnya itu, aku memotong penjelasannya. "Tunggu...tunggu.... maksudmu apa?" tangkisku meminta penjelasan yang lebih konkrit mengenai kebingungan-kebingungan yang Ia sodorkan sejak berbagi kursi di halte kedua.