Mohon tunggu...
Gilang Dejan
Gilang Dejan Mohon Tunggu... Jurnalis - Sports Writers

Tanpa sepak bola, peradaban terlampau apatis | Surat menyurat: nagusdejan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Saatnya Sepak Bola Indonesia Berbicara Program Jangka Panjang (Bagian 2)

20 Agustus 2020   11:22 Diperbarui: 20 Agustus 2020   11:10 216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bukti lain dari mandeknya PSSI mengimplementasikan program jangka panjang adalah proyek naturalisasi yang kian masif di sepak bola Indonesia. Di tengah rumitnya prosedur dan lamanya proses pewarganegaraan seorang warga Negara Asing (WNA) ke warga Negara Indonesia (WNI), pasal 20 Undang-undang kewarganegaraan tahun 2006 bisa menjawab persoalan klasik tersebut.

Dalam UU No.12 tahun 2006, pasal 20 disebutkan bahwa "Orang asing yang telah berjasa kepada negara Republik Indonesia atau dengan alasan kepentingan negara dapat diberi Kewarganegaraan Republik Indonesia oleh Presiden setelah memperoleh pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, kecuali dengan pemberian kewarganegaraan tersebut mengakibatkan yang bersangkutan berkewarganegaraan ganda".

Dengan acuan pasal tersebut, nyaris setiap kepemimpinan PSSI dalam 10 tahun terakhir selalu terjadi proses naturalisasi pemain. Semua bermula pada era Nurdin Halid di periode 2003-2011 silam, bahkan manuver instan untuk memajukan sepak bola nasional itu mulai tersiar sejak lama, sekitar tahun 2006.

Rencana awal, Nurdin Halid ingin mendatangkan sekitar tujuh pemain Brasil untuk dinaturalisasi guna kepentingan pembentukan tim nasional Indonesia yang tangguh. Para pemain tersebut diklaim berusia rata-rata 20-23 tahun sehingga dalam waktu empat atau lima tahun ke depan mereka sudah dapat dinaturalisasi dan bermain untuk tim garuda.

"Kalau tidak ada kendala, November [2006] ini para pemain Brasil itu datang ke Indonesia dan mengikuti seleksi. Kalau memang cocok dan kualitasnya bagus, mereka akan kita ikutkan di klub-klub untuk mengikuti kompetisi. Saya siap dikritisi dan diprotes dengan kebijakan ini. Tapi saya harus melakukan ini, karena ingin sepak bola Indonesia bisa berbicara di pentas internasional, termasuk Piala Dunia," demikian pernyataan Nurdin 16 tahun lalu, seperti dinukil dari Antara News.

Namun pada akhirnya, program naturalisasi yang baru dapat direalisasikan empat tahun kemudian tidak sesuai rencana awal. Cristian Gonzales menjadi pemain pertama yang mendapatkan status WNI lewat program tersebut. Suami dari Eva Gonzales ini disiapkan untuk ajang Piala AFF 2010.

Setelah Gonzales, para pemain naturalisasi lainnya terus berdatangan ke Indonesia. Mayoritas didominasi oleh pemain dari Belanda seperti Sergio van Dijk, Raphael Maitimo, Stefano Lilipaly, Jhon van Beukering, Stefano Lilipaly, Diego Michiels, Ruben Warbanaran, Marc Klok, Ezra Walian, dan banyak lagi lainnya.

Sementara sisanya pemain dari Jerman, Amerika Latin, dan Afrika yang berebut mendapatkan proses naturalisasi dengan tujuan ganda, yakni kepentingan timnas dan kebutuhan klub dalam mengakali regulasi pemain asing 3+1 (3 pemain Eropa/Afrika/Amerika Latin + 1 pemain Asia).

Nurdin Halid memang membuka gerbong proyek naturalisasi. Namun kemudian, proyek garapan Nurdin itu terus diamini oleh para ketum PSSI lainnya di periode selanjutnya. Djohar Arifin Husin (2011-2015), La Nyalla Mattalitti (2015-2016), Edy Rahmayadi (2016-Januari 2019), Joko Driyono (Januari-Maret 2019), Iwan Budianto (Maret-November 2019). Lantas, apakah di era Mochamad Iriawan proyek tersebut berhenti?

Tidak, justru program tersebut masih jadi proyek basah bukan hanya untuk kepentingan Timnas belaka melainkan juga demi kebutuhkan klub yang kian mendesak dalam mengelabui regulasi pemain asing. Kini kian menjamur pemain asing yang telah lama bermukim di Indonesia yang kemudian diklaim oleh klub untuk dijadikan WNI. Padahal dari segi usia, mereka tak produktif lagi dan titik puncak karir sebagai pemain telah lewat.

Bila kita kaitkan ke UU No.12 tahun 2006 Pasal 20 di atas, pemain-pemain yang diperjuangkan untuk naturalisasi tidak ada korelasinya dengan kepentingan negara dalam hal ini tim nasional Indonesia.

Proyek Naturalisasi Jilid II dari Brasil

Proyek yang penulis maksud bukanlah beberapa yang telah terjadi seperti proses naturalisasi Beto Goncalves atau Otavio Dutra. Melainkan proyek besar untuk tujuan yang lebih besar lainnya. Tengah ramai dalam perbincangan masyarakat bola tanah air jika sepak bola Indonesia mulai kedatangan beberapa pemain berpaspor Brasil dengan usia di bawah 20 tahun.

Teranyar Thiago Apolina Pereira dan Maike Henrique Irine de Lima yang bergabung dalam sesi latihan Persija Jakarta. Status dua pemain tersebut masih seleksi dan kabarnya dua pemain yang berposisi sebagai gelandang itu merupakan titipan dari PSSI untuk melanggengkan proyek terbaru mereka menjelang Piala Dunia U-20. Informasi tersebut memang belum sepenuhnya benar, bisa saja dua pemain tersebut merupakan rekomendasi langsung dari Sergio Farias yang sama-sama memiliki paspor Brasil.

Namun rumor semakin kuat kala Arema juga kedatangan dua pemain belia dari negara yang sama, Brasil. Mereka adalah Pedro Henrique (striker) dan Hugo Guilherme (stoper) yang masih berusia 19 tahun. Pedro sendiri sebelumnya berkarir bersama salah satu tim kelompok usia di Liga Pro Portugal, Deportivo Chaves. Sementara rekannya, bermain bersama Hugo di Seri B Brasil, Cuiaba.

Kedatangan para pemain belia dari Brasil ini dianggap berkah tersendiri bagi klub bersangkutan, sebabnya pada lanjutan Liga 1 2020, terdapat regulasi anyar yang diamandemenkan, yakni harus memasukkan pemain U-20 dalam Daftar Susunan Pemain (DSP). Oleh karenanya, Presiden Persija, Mohamad Prapanca, tak menampik bila kedatangan Meike dan Thiago sebagai bagian dari upaya mencari tambahan pemain U-20.

"Maka itu kami memutuskan coba menambah pemain asing untuk melengkapi komposisi tim. Lalu apakah nanti kami pakai semua atau salah satu saja, tergantung dengan situasi dan kondisi hingga kebutuhan tim," Imbuh Prapanca. Seperti dinukil dari Bola.com.

Bila Thiago, Meike, Pedro, dan Hugo lolos seleksi di Persija dan Arema maka proyek naturalisasi jilid II dari Brasil bisa semakin gencar dilakukan. Bahkan wartawan olahraga senior, M. Niagara, jauh-jauh hari telah mengklaim bahwa PSSI akan melakukan naturalisasi besar-besaran untuk melengkapi skuad Timnas U-20.

Ia menyatakan dalam sebuah acara "Bincang Bola" yang diselenggarakan oleh TribunNetwork, pada video yang diunggah pada (30/7) di akun YouTube Tribun Jabar, bahwa ada sekitar 200-an pemain Brasil yang disiapkan untuk membela tim samba di Piala Dunia U-20, namun tak semuanya bisa membela tim tersebut sehingga pemain Grade B/yang tersisih dari Brasil itu diklaim bakal masuk ke Indonesia.

"Ada sekitar 5-6 pemain belia dari Brasil yang akan datang ke Indonesia dan anak-anak ini adalah 200 dari anak-anak di usianya yang dipersiapkan untuk Piala Dunia U-20. Namun kemudian, tak semuanya bisa masuk. Tapi levelnya itu A dan B, level B nya saja sudah di atas kita," kata Niagara dalam perbincangan tersebut.

Bila benar apa yang diutarakan oleh jurnalis senior yang juga pernah dilibatkan dalam tim investigasi naturalisasi pemain dari Belanda pada tahun 2010 silam itu oleh PSSI benar adanya. Maka PSSI meneruskan tren lama, mereka selalu berbicara prestasi tanpa program yang kongkrit.

Semoga hal demikian tak betul-betul terealisasi, sebab bila kita berkaca pada pengalaman empiris, apa yang sudah diberikan para pemain naturalisasi terdahulu. Prestasi, kejayaan, atau nihil? Sejauh ini kontribusi mereka hanya mengantarkan Indonesia ke final tanpa meraih gelar juara, sebuah prestasi yang juga pernah kita raih bersama para pemain pribumi.

Lebih jauh lagi kita bisa belajar pada sepak bola Singapura, bagaimana program instan membangun timnas yang tangguh lewat naturalisasi sejak 2002 berjalan. Memang memasuki tahun 2004 sepak bola Singapura perlahan mulai bangkit dan pada Piala AFF edisi 2007 dan 2012 mereka berhasil menggondol gelar juara. Namun ketergantungan pada program instan naturalisasi itu tak ubahnya bumerang tersendiri bagi mereka.

Pada dua edisi berikutnya, di Piala AFF 2014 mereka kedodoran karena tampil tanpa pemain naturalisasi akibat tak adanya pemain naturalisasi baru. Kemudian di 2016, mereka memanggil kembali pemain naturalisasi lawas yang dari segi usia sudah habis. Hasilnya prestasi timnas Singapura merosot drastis.

Sebelum kemudian mereka menyadari bahwa program naturalisasi bukanlah solusi terbaik untuk membentuk timnas yang tangguh dan berprestasi. PSSI-nya Singapura mulai menanggalkan produk naturalisasi dan lebih fokus ke pembinaan pemain di akar rumput.

Dari pengalaman negeri tetangga kita bisa ambil pelajaran berharga, bahwa program tersebut tidak baik jika dijalankan dalam waktu yang panjang. Lagi pula, Singapura punya argumen kuat kala menjalankan program instan tersebut, kebijakan yang diambil tak lepas dari terbatasnya Sumber Daya Manusia (SDM) mereka mengingat jumlah penduduk yang juga tidak terlalu banyak. Sementara Indonesia?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun