Lebih jauh lagi kita bisa belajar pada sepak bola Singapura, bagaimana program instan membangun timnas yang tangguh lewat naturalisasi sejak 2002 berjalan. Memang memasuki tahun 2004 sepak bola Singapura perlahan mulai bangkit dan pada Piala AFF edisi 2007 dan 2012 mereka berhasil menggondol gelar juara. Namun ketergantungan pada program instan naturalisasi itu tak ubahnya bumerang tersendiri bagi mereka.
Pada dua edisi berikutnya, di Piala AFF 2014 mereka kedodoran karena tampil tanpa pemain naturalisasi akibat tak adanya pemain naturalisasi baru. Kemudian di 2016, mereka memanggil kembali pemain naturalisasi lawas yang dari segi usia sudah habis. Hasilnya prestasi timnas Singapura merosot drastis.
Sebelum kemudian mereka menyadari bahwa program naturalisasi bukanlah solusi terbaik untuk membentuk timnas yang tangguh dan berprestasi. PSSI-nya Singapura mulai menanggalkan produk naturalisasi dan lebih fokus ke pembinaan pemain di akar rumput.
Dari pengalaman negeri tetangga kita bisa ambil pelajaran berharga, bahwa program tersebut tidak baik jika dijalankan dalam waktu yang panjang. Lagi pula, Singapura punya argumen kuat kala menjalankan program instan tersebut, kebijakan yang diambil tak lepas dari terbatasnya Sumber Daya Manusia (SDM) mereka mengingat jumlah penduduk yang juga tidak terlalu banyak. Sementara Indonesia?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI