Bukti lain dari mandeknya PSSI mengimplementasikan program jangka panjang adalah proyek naturalisasi yang kian masif di sepak bola Indonesia. Di tengah rumitnya prosedur dan lamanya proses pewarganegaraan seorang warga Negara Asing (WNA) ke warga Negara Indonesia (WNI), pasal 20 Undang-undang kewarganegaraan tahun 2006 bisa menjawab persoalan klasik tersebut.
Dalam UU No.12 tahun 2006, pasal 20 disebutkan bahwa "Orang asing yang telah berjasa kepada negara Republik Indonesia atau dengan alasan kepentingan negara dapat diberi Kewarganegaraan Republik Indonesia oleh Presiden setelah memperoleh pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, kecuali dengan pemberian kewarganegaraan tersebut mengakibatkan yang bersangkutan berkewarganegaraan ganda".
Dengan acuan pasal tersebut, nyaris setiap kepemimpinan PSSI dalam 10 tahun terakhir selalu terjadi proses naturalisasi pemain. Semua bermula pada era Nurdin Halid di periode 2003-2011 silam, bahkan manuver instan untuk memajukan sepak bola nasional itu mulai tersiar sejak lama, sekitar tahun 2006.
Rencana awal, Nurdin Halid ingin mendatangkan sekitar tujuh pemain Brasil untuk dinaturalisasi guna kepentingan pembentukan tim nasional Indonesia yang tangguh. Para pemain tersebut diklaim berusia rata-rata 20-23 tahun sehingga dalam waktu empat atau lima tahun ke depan mereka sudah dapat dinaturalisasi dan bermain untuk tim garuda.
"Kalau tidak ada kendala, November [2006] ini para pemain Brasil itu datang ke Indonesia dan mengikuti seleksi. Kalau memang cocok dan kualitasnya bagus, mereka akan kita ikutkan di klub-klub untuk mengikuti kompetisi. Saya siap dikritisi dan diprotes dengan kebijakan ini. Tapi saya harus melakukan ini, karena ingin sepak bola Indonesia bisa berbicara di pentas internasional, termasuk Piala Dunia," demikian pernyataan Nurdin 16 tahun lalu, seperti dinukil dari Antara News.
Namun pada akhirnya, program naturalisasi yang baru dapat direalisasikan empat tahun kemudian tidak sesuai rencana awal. Cristian Gonzales menjadi pemain pertama yang mendapatkan status WNI lewat program tersebut. Suami dari Eva Gonzales ini disiapkan untuk ajang Piala AFF 2010.
Setelah Gonzales, para pemain naturalisasi lainnya terus berdatangan ke Indonesia. Mayoritas didominasi oleh pemain dari Belanda seperti Sergio van Dijk, Raphael Maitimo, Stefano Lilipaly, Jhon van Beukering, Stefano Lilipaly, Diego Michiels, Ruben Warbanaran, Marc Klok, Ezra Walian, dan banyak lagi lainnya.
Sementara sisanya pemain dari Jerman, Amerika Latin, dan Afrika yang berebut mendapatkan proses naturalisasi dengan tujuan ganda, yakni kepentingan timnas dan kebutuhan klub dalam mengakali regulasi pemain asing 3+1 (3 pemain Eropa/Afrika/Amerika Latin + 1 pemain Asia).
Nurdin Halid memang membuka gerbong proyek naturalisasi. Namun kemudian, proyek garapan Nurdin itu terus diamini oleh para ketum PSSI lainnya di periode selanjutnya. Djohar Arifin Husin (2011-2015), La Nyalla Mattalitti (2015-2016), Edy Rahmayadi (2016-Januari 2019), Joko Driyono (Januari-Maret 2019), Iwan Budianto (Maret-November 2019). Lantas, apakah di era Mochamad Iriawan proyek tersebut berhenti?
Tidak, justru program tersebut masih jadi proyek basah bukan hanya untuk kepentingan Timnas belaka melainkan juga demi kebutuhkan klub yang kian mendesak dalam mengelabui regulasi pemain asing. Kini kian menjamur pemain asing yang telah lama bermukim di Indonesia yang kemudian diklaim oleh klub untuk dijadikan WNI. Padahal dari segi usia, mereka tak produktif lagi dan titik puncak karir sebagai pemain telah lewat.
Bila kita kaitkan ke UU No.12 tahun 2006 Pasal 20 di atas, pemain-pemain yang diperjuangkan untuk naturalisasi tidak ada korelasinya dengan kepentingan negara dalam hal ini tim nasional Indonesia.