Mohon tunggu...
Gilang Dejan
Gilang Dejan Mohon Tunggu... Jurnalis - Sports Writers

Tanpa sepak bola, peradaban terlampau apatis | Surat menyurat: nagusdejan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Saatnya Sepak Bola Indonesia Berbicara Program Jangka Panjang (Bagian 1)

19 Agustus 2020   15:39 Diperbarui: 20 Agustus 2020   11:25 376
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: © Naufal/PSSI

Di masa pandemi seperti sekarang ini, beberapa kawan yang terkena PHK kerap bercerita bahwa apapun jenis perkerjaannya asal bisa mencukupi buat makan hari ini saja mereka sudah sangat syukur. Artinya yang terpikirkan bagaimana menyambung hidup dari hari ke hari berikutnya.

Mereka tak berpikir bagaimana kehidupan minggu depan, bulan depan, tahun depan, lima tahun ke depan, dst. Atau tentang rencana-rencana strategis (goal setting) yang bisa mereka capai untuk kehidupan yang lebih baik. Tidak sama sekali.

Menyambung hidup dari hari ke hari seraya menunggu pandemi reda dan bekerja serabutan sampai ekonomi kembali normal adalah keseharian mereka kini. Ideologi yang tadinya bekerja untuk menabung, naik jabatan, dan lain sebagainya berubah menjadi ideologi yang lebih pragmatis. Asal bertahan.

Kini mereka hidup berdampingan dengan ketidakpastian. Kapan pandemi berakhir, kapan perusahaan-perusahaan membuka kembali loker, dan pertanyaan serupa lainnya.

Sepak Bola Tanpa Program Jangka Panjang

Bila ditarik ke ranah yang lebih luas, lebih relevannya pada sepak bola nasional yang konon telah menjadi industri, rasa-rasanya apa yang menimpa kehidupan beberapa kawan pasca pandemi menerpa punya korelasi tersendiri dengan sepak bola nasional -- bukan saja disaat pandemi seperti ini saja baik operator Liga maupun klub-klub tanah air akrab dengan ketidakpastian.

Ditegaskan kembali bahwa penulis tak berbicara ketidakpastian kompetisi disaat pandemi hari ini. Melainkan ketidakpastian-ketidakpastian kompetisi saat kondisi negeri sedang benar-benar normal yang kerap menjadi issue hangat setiap kompetisi libur.

Bila ditelusuri lebih jauh, ketidakpastian kompetisi bukan saja perihal kapan waktu bergulirnya liga. Melainkan kapan subdsidi musim lalu cair, berapa besaran subsidi musim ini, dan lain halnya.

Kita baru bicara disatu ranah saja yakni kompetisi. Disadari atau tidak, beberapa tahun kebelakang tim nasional hidup tanpa sokongan program yang jelas.

Penulis tentunya merasa senang kala Luis Milla berkomitmen untuk menerapkan cetak biru Filanesia karya Danurwindo atau saat PSSI pada 2015 silam mulai mempresentasikan program 100 tahun Indonesia merdeka, dimana level puncak sepak bola Indonesia berada di tahun 2045 dan 2046 timnas lolos piala dunia.

Tentu program jangka panjang seperti itu sangatlah mahal ditelinga kita yang selama ini hanya didongengkan program-program jangka pendek/instan yang terdengar ambisius. Salah satunya Indonesia juara AFF Cup, meskipun kemudian program instan tersebut tak pernah terwujud pada akhirnya.

Bila ditarik lebih jauh, dulu sekali PSSI punya program Primavera namun hasilnya belum memuaskan juga. Setelah sekian lama, akhirnya PSSI sebagai induk sepak bola nasional punya program jangka panjang yang lebih konkret dan berpotensi membuat sepak bola Indonesia lebih berkembang. Mengapa demikian?

Kita bisa belajar kepada Jerman soal program jangka panjang. Dalam buku Das Reboot: How German Football Reinvented It Self and Conquered garapan Raphael Honigstein, dipaparkan bahwa momentum kebangkitan sepak bola Jerman terjadi selepas dua kegagalan besar, yakni tersingkir di Piala Eropa 2000 dengan status juru kunci di fase grup dan kekalahan yang menyakitkan di Piala Dunia 2002 kontra Brasil.

Berawal dari dua kegagalan itu akhirnya Jerman berbenah setahun berselang lewat presiden DFB -- federasi sepak bola Jerman, Gerhard Mayer-Volfelder, mereka mempresentasikan program pengembangan bakat atau bahasa aslinya Das Talentfoerderprogram.

Nama program yang sederhana namun kemudian tak hanya mencetak pemain-pemain kelas dunia, melainkan mencetak lebih banyak pelatih berkualitas di Jerman. Tak heran jika banyak pelatih Jerman yang bertebaran di Bundesliga dan kompetisi Eropa lainnya. Sebabnya untuk mencetak pemain berkualitas tentu dibutuhkan pula pelatih dengan kualitas mumpuni.

Hal tersebut berimbas pada superioritas timnas senior mereka di level internasional. Bagaimana mereka berhasil memenangkan Piala Dunia 2014 dan berhasil menelurkan generasi emas seperti Thomas Mueller, Manuel Neuer, Toni Kroos, Marc-Andre ter Stegen, Jeroma Boateng, Julian Draxler, Marco Reus, Mats Hummels, Leon Goretzka, Mesut Ozil, dan banyak lagi pemain lainnya yang hingga kini masih jadi tulang punggung timnas Jerman.

Sepak bola Jerman hari ini merupakan jalan panjang dari proses demi proses. Bukanlah program instan seperti yang terjadi di sepak bola kita. Mungkin penulis bisa salah menilai, namun bila dipikirkan lagi, timnas Indonesia kerap berganti pelatih.

Dan mirisnya, nyaris setiap pelatih ditekan buat berprestasi tanpa melihat segala fakta-fakta yang ada mulai dari akar rumput hingga level atas. Bukankah proses bisnis demikian merupakan manuver instan mencapai kesuksesan yang sulit berhasil?

Saatnya....

Penulis tak bisa mengingat jelas apa saja prestasi sepak bola Indonesia dalam cakupan internasional, yang paling relevan dan paling segar diingatan adalah ketika Indonesia dinyatakan memenangi bidding piala dunia U-20 2020. Sebuah prestasi?

Ya tentu saja, sebab sejauh ini mimpi mengumandangkan lagu kebangsaan Indonesia Raya di pentas piala dunia bisa semakin cepat terealisasi. Meskipun dalam level yang berbeda/junior. Namun, setidaknya sepak bola Indonesia bisa lebih yakin buat mencapai target di 100 tahun Indonesia merdeka.

Tersisa 25 tahun buat merealisasikan hal itu. Dalam jangka waktu tersebut Indonesia bisa melakukan branding, utamanya di piala dunia U-20 nanti. Langgeng tidaknya perjalanan tim yang dibesut Gong Oh Kyun cs bukan jaminan Indonesia bisa naik level. Di usia junior, justru negara-negara maju tak mencatat prestasi tim junior sebagai tolak ukur kesuksesan.

Lagi pula, kita punya catatan empiris saat pasukan Timnas U-19 asuhan Indra Sjafri digdaya di Asia Tenggara beberapa waktu silam. Kini berapa pemain lagi yang masih tersisa jadi tulang punggung Timnas senior? Tak banyak.

Dalam hal ini, kita mesti fokus pada satu atribut terlebih dahulu. Realistisnya Indonesia tak perlu repot memasang target penuh dalam gelaran tersebut. Moto klise yang berbunyi 'sukses penyelenggaraan dan sukses prestasi' bukanlah pilihan yang bijak untuk digunakan nantinya.

Artinya, sepak bola Indonesia mesti berbenah step by step. Andai ingin melakukan branding terhadap organisasinya, ya kita mesti jadi tuan rumah yang sukses.

Sekali lagi, andai tim besutan Gong Oh Kyun tak bisa berbicara lebih banyak di gelaran tersebut, maka kita tak boleh kecewa. Ada sesuatu yang bisa dilihat sebagai proses dari sisi lain. Organisasi misalnya, sisi bisnis, pengakuan, dll.

Memang menjadi seperti Jerman yang stabil pasca kekeringan prestasi beberapa tahun silam itu tak mudah. Butuh kesabaran yang ekstra.

Dan kita mesti mulai legowo untuk membiarkan sepak bola Indonesia berbenah dan berproses dengan cara tak menagih prestasi.

Selain memberikan ruang untuk federasi beres-beres, kita juga bisa mengurangi beban pemain timnas saat bertanding. Tidak menutup kemungkinan juga saat beban lebih ringan, mereka bisa bermain lepas bahkan menjadi yang terbaik?

Maka itu, biarkanlah, relakanlah kita mendengar target-target yang lebih pragmatis di setiap event timnas (asalkan sepak bola Indonesia bisa berbenah). Toh dengan target tinggi-tinggi pun kita tak dapat apa-apa juga kan selama ini. Betul tidak? Ini saatnya....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun