Lagi pula, kita punya catatan empiris saat pasukan Timnas U-19 asuhan Indra Sjafri digdaya di Asia Tenggara beberapa waktu silam. Kini berapa pemain lagi yang masih tersisa jadi tulang punggung Timnas senior? Tak banyak.
Dalam hal ini, kita mesti fokus pada satu atribut terlebih dahulu. Realistisnya Indonesia tak perlu repot memasang target penuh dalam gelaran tersebut. Moto klise yang berbunyi 'sukses penyelenggaraan dan sukses prestasi' bukanlah pilihan yang bijak untuk digunakan nantinya.
Artinya, sepak bola Indonesia mesti berbenah step by step. Andai ingin melakukan branding terhadap organisasinya, ya kita mesti jadi tuan rumah yang sukses.
Sekali lagi, andai tim besutan Gong Oh Kyun tak bisa berbicara lebih banyak di gelaran tersebut, maka kita tak boleh kecewa. Ada sesuatu yang bisa dilihat sebagai proses dari sisi lain. Organisasi misalnya, sisi bisnis, pengakuan, dll.
Memang menjadi seperti Jerman yang stabil pasca kekeringan prestasi beberapa tahun silam itu tak mudah. Butuh kesabaran yang ekstra.
Dan kita mesti mulai legowo untuk membiarkan sepak bola Indonesia berbenah dan berproses dengan cara tak menagih prestasi.
Selain memberikan ruang untuk federasi beres-beres, kita juga bisa mengurangi beban pemain timnas saat bertanding. Tidak menutup kemungkinan juga saat beban lebih ringan, mereka bisa bermain lepas bahkan menjadi yang terbaik?
Maka itu, biarkanlah, relakanlah kita mendengar target-target yang lebih pragmatis di setiap event timnas (asalkan sepak bola Indonesia bisa berbenah). Toh dengan target tinggi-tinggi pun kita tak dapat apa-apa juga kan selama ini. Betul tidak? Ini saatnya....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H