Mohon tunggu...
Gilang Dejan
Gilang Dejan Mohon Tunggu... Jurnalis - Sports Writers

Tanpa sepak bola, peradaban terlampau apatis | Surat menyurat: nagusdejan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Masihkah Merindukan Kompetisi Sepak Bola Indonesia?

13 Juni 2020   13:12 Diperbarui: 13 Juni 2020   19:23 654
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Striker Persib Bandung Wander Luiz (kiri) merayakan golnya ke gawang PSS Sleman pada laga lanjutan pekan ketiga Shopee Liga 1 2020 di Stadion Si Jalak Harupat, Kab. Bandung, Minggu (15/3/2020). (DOK. PERSIB)

Sementara dalam konteks yang berseberangan, adakah kajian ilmiah yang bisa menjamin bahwa kompetisi akan berjalan sesuai rencana, dengan protokoler kesehatan yang ketat, sentralisasi tempat bertanding, atau hal teknis lainnya yang tengah mereka godok?

Mungkin tidak, namun semua bisa saja berjalan dengan baik bila aturan tersebut dijalankan secara konsisten dan penuh komitmen. Sayangnya, mengacu pada pengalaman-pengalaman yang telah berlalu, mesti duakui bahwa kita kadung terbiasa dengan inkonsistensi.

Seperti diktumnya orang hukum bahwa kita hanya kompeten bikin aturan, sementara pelaksanaannya hanya prosedural belaka.

Tak salah bila kemudian kita bisa belajar pada laga tanpa penonton yang pernah terjadi pada masa lalu misalnya, selalu saja ada bangku-bangku tribun/VIP yang terisi. Uniknya mereka yang duduk bukanlah orang-orang yang berkepentingan di pertandingan dan mereka kerap bangga dengan akses limited yang mereka dapatkan. Entah dari kenalan panpel atau orang dalam klub.

Berkenaan hal itu agaknya sulit menjamin bahwa pertandingan benar-benar aman dari persoalan penonton. Kita baru bicara ruang lingkup sekitar venue pertandingan/stadion saja. Belum lagi inisiatif-inisiatif kerumunan masa dalam mengadakan nobar-nobar di kafe, jalanan, tempat nongkrong, atau tempat-tempat lain.

Entah kenapa penulis begitu yakin bila hal itu akan terjadi. Mungkin kondisi sekitar yang saya lihat dan alami bisa jadi referensi paling relevan.

Sebab semenjak dibukanya aturan New Normal atau Adaptasi Kebiasaan Baru (AKB) pemandangan masyarakat yang bergumul dengan aktivitas-aktivitas tak penting di luar rumah tanpa menerapkan protokoler kesehatan kian jadi pemandangan yang tak indah hampir setiap harinya.

Apalagi bila kita bicara kultur sepak bola Indonesia di luar lapangan, tentu kelompok supporter garis keras akan punya pembelaannya sendiri lewat teori fanatisme yang kerap dipresentasikan secara gamblang. 

Salah satu diantara contoh kasus yang lumrah terjadi adalah menerobos tribun tanpa tiket hingga menyeludupkan barang-barang yang dilarang dibawa ke dalam stadion seperti petasan, flare, dan lainnya. Itulah sedikit referensi terkait perilaku supporter tanah air. Tak semuanya begitu memang, namun dibalik supporter yang tertib selalu saja ada 1-2 oknum yang berupaya menodai nama baik.

Kembali lagi pada acuan menggelar kompetisi. Bila mengacu pada negara lain yang telah melanjutkan kembali kompetisi sepak bolanya, mereka punya catatan tersendiri, diantaranya mereka telah melewati puncak kasus dan beberapa telah mengklaim keadaan nasional sepenuhnya kondusif dari virus.

Salah satu yang paling relevan kita pelajari adalah negara serumpun kita di Asia Tenggara, yakni Vietnam yang hanya mencatat 328 kasus tanpa kematian sepanjang wabah berlangsung. Pada 24 April 2020 mereka resmi mengumumkan tak ada kasus baru sehingga Liga Vietnam bisa bergulir kembali dengan kondisi normal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun