Pada 21 Maret 2017 Luis Milla Aspas memulai tugasnya sebagai pelatih kepala Timnas Indonesia. Ia menjadi pelatih Timnas Indonesia pertama yang memiliki paspor Spanyol.Â
Tak heran jika kemudian publik menduga Milla akan membawa birokrasi sistem permainan indah ala Spanyol (baca: tiki-taka). Style of play macam Iniesta cs dirasa sepadan dengan postur pemain kita.
Namun, tiki-taka tak kunjung diperagakan Evan Dimas dan kolega. Diawal-awal memang progress permainan dari anak asuh Luis Milla agak membosankan dan terlalu taktikal jika dibanding dengan permainan Timnas kelompok umur yang ditangani Fachri Husaini dan Indra Sjafri.Â
Faktanya saat itu Milla tengah beradaptasi dengan gaya bermain pemain Indonesia dan tak berselang lama, bersama direktur teknik sekaligus High Performance Unit PSSI, Danurwindo, akhirnya Luis Milla mempresentasikan programnya kepada publik sepak bola nasional. Ia membuat cetak biru sepak bola Indonesia/Filanesia.
Memang kontruksi utamanya tidak jauh dari possession ball oriented. Namun butuh waktu bagi Milla mengenal lebih jauh budaya sepak bola kita untuk menciptakan cara bermain Indonesia yang lebih orisinil.Â
Tentu Milla bisa saja instan dengan mencangkok tiki-taka ke Timnas Indonesia, akan tetapi development pemain Indonesia tidak akan terstruktur untuk jangka panjang. Milla benar-benar meletakan batu fondasi pertamanya dengan kokoh dan penuh perhitungan. Banyak yang menaruh optimisme di proyek garapan Milla ini.
"Mereka (Indonesia) ingin memodifikasi proyek yang tengah dibangun dengan menggunakan pelatih dari Spanyol dan mereka memberikan kepercayaan kepada saya," ucap Milla saat diwawancarai secara khusus oleh media Spanyol, El Diario Vasco, akhir Januari silam.
Kedatangan Milla bertepatan dengan ketum PSSI baru (yang awalnya) sangat meyakinkan publik untuk perubahan ke arah yang lebih baik. Melalui Ratu Tisha mereka menyadari jika perubahan harus diawali dari organisasi PSSI-nya sendiri. Tisha membeberkan program-program menjanjikan yang tak pernah ada sebelumnya.
"Semua hanya melihat Timnas dalam kurun waktu 2x45 menit dan timnas menang atau kalah. Dibalik itu semua sebetulnya ada lima elemen penunjang tim nasional," kata Ratu Tisha di acara Forum Diskusi Bola (8/8) lalu.
Adapun yang dimaksud sekjen PSSI itu adalah elemen Organisasi, pengembangan, kompetisi, aktivitas bisnis, dan output-nya Tim Nasional. Lima pilar tersebut menjadi program jangka panjang PSSI untuk menuju Piala Dunia 2045 sekaligus memberikan kado manis HUT RI Ke-100 Republik Indonesia.
"PSSI sedang menyusun kemenangan sepak bola Indonesia. Jadi yang terpenting adalah bukan kemenangan hari ini. Tapi tahun 2030-2045 nanti, saat Indonesia masuk Piala Dunia," terangnya.
![Foto dikutip dari Bola Tempo.](https://assets.kompasiana.com/items/album/2018/10/22/download-5bcdba7b677ffb5367483f7d.jpeg?t=o&v=770)
Pada Minggu malam (21/10) Luis Milla Aspas menulis salam perpisahan lewat akun instagramnya. Selain ucapan terima kasih, komentar ayah dari Paulita Milla ini mengindikasikan bahwa kata profesionalitas masih bukan menjadi kata sepadan untuk menseskripsikan PSSI.Â
"Hari ini bukan hari yang mudah bagi saya, karena saya tidak akan melanjutkan sebagai pelatih Timnas Indonesia," tulis Milla di paragraf pertama caption instagramnya.
"Sebuah proyek yang lebih dari 1.5 tahun telah berakhir, meskipun dimana manajemen yang jelek, miskin, pemutusan kontrak yang konstan, dan rendahnya profesionalisme para pemimpin (PSSI) selama 10 bulan terakhir. Saya pergi dengan perasaan telah melakukan kebaikan. Pekerjaan Indonesia akan selalu menjadi kampung halaman saya yang kedua, karena saya menghargai betapa baik kota ini (Jakarta) memperlakukan istri dan assistan saya juga saya sendiri", lanjutnya.
Walaupun tak ada trofi yang bisa dikenang untuk menceritakan Luis Milla kepada anak-cucu kita, sekurangnya kita bisa menceritakan jika dulu Indonesia pernah kedatangan dua pelatih hebat disatu musim yang sama: Luis Milla dan Mario Gomez.Â
Meskipun Gomez masih menangani Persib dan entah kapan dia hengkang dari Indonesia. Saya rasa kata "pernah" disana hanya soal urusan waktu, eks tangan kanan Hector Cuper itu sudah memberi sinyal ketidaknyamanan dengan kebijakan PSSI.
Budaya Kontrak Jangka Pendek
Kompetisi sepak bola di Indonesia menyandang title yang sama tak ubahnya di Liga Primer Inggris: kompetitif. Tidak ada Juventus, Barcelona, Real Madrid, Bayern Munchen, atau PSG yang kerap mendominasi Liga. Kita lebih sering menonton klub X yang juara di musim ini lalu terpuruk di musim berikutnya.
Konon, semua berawal ketika klub-klub lokal menyusui dari dana APBD. Rencana anggaran hanya dikalkulasi untuk satu musim liga, otomatis kontrak pemain dan pelatih pun disesuaikan.Â
Dengan durasi kontrak yang pendek berdampak pada kekompakan tim, sebelum memulai kompetisi baru tim kembali mengadakan seleksi pemain bukan untuk menambal kelemahan tim tapi berkat tidak sehatnya aktivitas transfer pemain dan tim harus memulai semuanya dari titik nol. Bahkan lebih kejam lagi dialami oleh para pelatih.
Mereka kerap diberi waktu singkat, padahal dalam melatih butuh proses panjang. Target juara, kontrak jangka pendek, dan kemungkinan gaji yang terhambat. Hal tersebut sangat tidak ideal untuk klub yang tampil di Liga utama. Celakanya, kebiasaan tersebut terbawa sampai klub disapih dari dana APBD/berbentuk perseroan.
Memang terjadi perubahan ke arah yang lebih baik khususnya di Liga 1 kali ini. Klub macam Persib Bandung, Barito Putera, PSM Makasar, Bali United, dan Madura United mulai mengontrak para pemain kunci dan pelatihnya dengan durasi waktu yang lebih lama, 2-5 tahun.
Agak berat ketika berbicara profesionalitas klub di Indonesia, karena PSSI-nya sendiri pun belum bisa jadi figur yang baik. Sebetulnya kultur kontrak jangka pendek ini masalahnya bukan terletak pada kegagalan klub bertransisi dari klub yang didanai APBD ke PT. Â Justru di era industri sepak bola dewasa ini, klub bisa lebih makmur.
Lalu selain kebiasaan lama, apa penyebab dari klub tak ingin lebih professional (khususnya urusan kontrak) padahal notabene mereka sanggup? Ketidakpastian berlangsungnya liga dan regulasi yang berubah-ubah disinyalir jadi faktor lain kebijakan klub lebih memilih kontrak jangka pendek bagi pemain/pelatih.
Liga dikelola dengan kurang professional di Indonesia, akibatnya klub pun kehilangan respek dari para sponsor. Dengan begitu, neraca keuangan klub pun bisa terancam. Jadi klub tak sepenuhnya salah, karena budaya itu malah seperti di propagandakan oleh pihak-pihak yang lebih tinggi dan menaungi klub -- singkatnya PSSI.
Maka tak usah pura-pura kaget ketika kita mendengar berita pemain/pelatih/wasit telat digaji karena PSSI pun mencontohkan begitu -- dengan menunggak gaji Milla --, dosa PSSI tak sampai disitu, transparansi dalam mengelola uang sanksi dari klub pun masih bisa diperdebatkan, selebihnya mereka juga yang mempresentasikan kontrak jangka pendek bagi pelatih.Â
Kabarnya Bima Sakti yang ditunjuk untuk menggantikan posisi Milla pun hanya disodorkan kontrak khusus untuk event Piala AFF saja.
Piala Dunia hanya angan-angan
Acapkali mendengar kata-kata ini: "Indonesia pasti lolos Piala Dunia" saya menanggap mereka yang mengatakan demikian sedang menghibur dirinya sendiri dari kejenuhan gagal demi gagal Timnas kita.Â
Keyakinan saya mengenai program yang dipresentasikan oleh Ratu Tisha Destria dalam forum diskusi bola di Gedung Kompas Gramedia (8/8), kian memudar jika pengelolaan sepak bola nasional masih stagnan dalam artian tidak beranjak ke arah yang lebih baik.
Luis Milla pernah mengamini program jangka panjang PSSI tersebut, namun apa daya Milla tidak lagi berada disini. Padahal jika program tersebut dijalani bersama Luis Milla semuanya akan terlihat lebih realistis, karena sekali lagi ini soal progres dan dia telah berhasil sejauh ini.
Meski begitu, segala kerunyaman yang mengiringi sepak bola nasional kadung dianggap hal yang wajar. Dengan ketidakondusifan kompetisi -- yang sebetulnya saya pun malas mengulang kalimat ini -- Luis Milla pun rasanya tak akan pernah sanggup mengantar Indonesia ke Piala Dunia. Kita butuh lebih dari sekedar Luis Milla. Syaratnya persoalan yang terlalu rumit diurai di sepak bola nasional harus diselesaikan.
Satu cara instan supaya Indonesia bisa masuk Piala Dunia adalah dengan meniru Qatar. Ya, menjadi tuan rumah. Sudah barang tentu jalan tersebut bukan hal yang mudah dan otomatis yang tersisa sekaligus paling realistis untuk mengantar kita ke sana adalah dengan perubahan di kubu PSSI.Â
Mereka sebagai pengendali sepak bola nasional perlu introspeksi apa yang salah selama ini. Atau Piala dunia hanya akan menjadi angan-angan? Karena publik kadung pesimis dengan PSSI rezim ini.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI