Mohon tunggu...
Gilang Dejan
Gilang Dejan Mohon Tunggu... Jurnalis - Sports Writers

Tanpa sepak bola, peradaban terlampau apatis | Surat menyurat: nagusdejan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Di Balik Lindungan Kata Oknum

30 September 2018   23:10 Diperbarui: 1 Oktober 2018   13:18 779
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto diambil oleh Okezone Bola di Laga Amal Haringga semalam (29/9)

Bertahun-tahun Bapak saya memboikot dirinya sendiri untuk tidak datang ke stadion -- khususnya untuk pertandingan klub di Liga-- dan bertahun-tahun pula Bapak saya tidak pernah memberikan penjelasan konkrit terkait sikapnya itu. Padahal beliau merupakan supporter salah satu klub besar nasional sejak remaja.

Teringat satu waktu ketika dirinya menolak baik-baik tawaran tiket gratis kategori VVIP untuk sebuah pertandingan Liga yang digelar di Stadion Utama GBK, Senayan-Jakarta di pertengahan tahun 2009, tawaran tersebut tidak main-main karena langsung dari salah satu legenda Mastrans Bandung Raya dan Persib Bandung era perserikatan.

Saya sendiri heran dan sempat ngambek kepada beliau, karena bagaimana bisa tiket VVIP belembar-lembar yang diberikan untuk keluarganya secara cuma-cuma oleh legenda sepakbola nasional -- yang sekaligus menjadi tetangga baik kami itu ditolak begitu saja. Dia hanya sedikit memberi penjelasan ketika itu: Ini pertandingan Liga, bocah tidak tahu sejarahnya!

Gila bola, fanatik, tapi cuma menjadi penonton layar kaca. Uraian itulah yang bisa saya simpulkan dari diri bapak. Namun, anehnya ketika Tim Nasional Indonesia bertanding Ia rela merogoh kocek berapapun demi bisa hadir di stadion. Sedang Ia tidak pernah pergi mendukung klub kebanggaannya sejak tahun 1999-an,berarti terhitung sudah 19 tahun Ia memboikot diri untuk berhenti pergi ke stadion.

Sampai saya sempat berpikir jika Bapak bukan supporter yang loyal lagi, karena klub kesayangannya minim prestasi jadilah Ia malas ke stadion. Namun, Jika itu benar adanya, beliau tak mungkin se-fanatik ini hingga fanatismenya itu menular kepada diri saya sebagai anaknya.

Minggu lalu (23/9) saya hampir mendapat seluruh jawaban atas pertanyaan-pertanyaan saya selama ini terkait sikap tak wajar seorang supporter gadungan (baca: bapak saya) itu. Haringga Sirla, seorang pendukung Jakmania dikeroyok hingga tewas di kawasan Stadion GBLA. Sebuah narasi berita buruk yang membuat sepakbola Indonesia terasa begitu menyeramkan.

Meski demikian, insiden tersebut cukup mewakili penjelasan yang tak pernah dipaparkan Bapak saya selama ini. Ia kadung memberi cap 'kerusuhan dan anarkisme' terhadap sepakbola nasional selama ini. Prestasi klub idolanya yang saya kira jadi pemicu kenapa Bapak enggan datang langsung ke stadion adalah kekeliruan saya belaka dalam menerka.

Dengan kejadian tersebut saya paham betapa besar probabilitas resiko yang harus diterima untuk mendukung langsung tim favorit di stadion Indonesia apalagi ada kata rivalitas abadi yang membuat sekat-sekat antar pendukung kian terasa. Meskipun dalam kejadian ini banyak faktor yang memengaruhi dan perlu dilihat secara kompleks, kenapa ada nyawa yang melayang lagi di sepakbola nasional.

Mengapa Harus Haringga?

Kasus kali ini dirasa berbeda dari kasus-kasus sebelumnya. Seperti kita ketahui bersama, pada Kamis (26/7) lalu satu supporter tewas usai laga PSIM vs PSS di Stadion Sultan Agung, Bantul. Lebih jauh lagi sejak November 2011, nama-nama seperti alm. Rangga Cipta Nugraha, alm Lazuardi, alm. Ricko Andrean, dan 35 lainnya tidak begitu diekspos hingga menyita perhatian seperti sekarang ini.

Setiap ada insiden seperti ini, PSSI dan pihak berwenang terkait selalu meredam dengan kalimat "Semoga ini yang terakhir" dengan catatan dikemudian hari terjadi lagi seperti dj vu di kehidupan kita sehari-hari. Tanpa menyudutkan pihak terkait, ini adalah indikasi jika sebelumnya tidak ada tindak lanjut yang tepat perihal rivalitas penghilang nyawa ini. Pendeknya, tidak ada punishment yang betul-betul bisa meredam anarkisme berlebihan.

Penulis memang menantikan jawaban mengenai alasan bapak tidak mau ke stadion. Akan tetapi, kenapa harus memahami dengan cara seperti ini lagi, berkali-kali dan diulang-ulang. Mengapa harus Haringga?

Solusi Damai

Setelah pengeroyokan sadis berujung tewasnya Ricko Andrean Maulana pada 27 Juli 2017, tensi permusuhan Jakmania dan Bobotoh sempat mengendur. Terjadi beberapa momen penting salah satunya adalah deklarasi damai kedua belah pihak dan juga titik sumbu perdamaian yang terus dijaga, termasuk saat Bung Ferry Indrasyarief selaku ketum Jakmania melabrak anggotanya sendiri di tribun yang dianggap memprovokasi.

Sayang sekali, ditengah aura positif, operator liga dan PSSI gagal mengawal jadwal match kedua (Persija vs Persib) musim lalu. Di musim ini pun mereka dengan mudahnya mengundur jadwal pertemuan pertama kedua tim yang kemudian digelar di Stadion PTIK Jakarta, akhir putaran pertama lalu. Ditengah ketidakpastian jadwal inilah pelan-pelan sumbu permusuhan kembali menyala. Media sosial khususnya linimasa twitter jadi wadah kedua belah pihak menumpahkan kekecewaannya termasuk saling serang/mengejek tim rival.

Semua berawal dari reaksi kecewa yang menyebabkan kesalahpahaman, tak terkecuali dengan sejarah awal permusuhan kedua kelompok supporter dari Jakarta dan Bandung ini. 19 tahun lalu disebuah pertandingan yang mempertemukan antara Persib Bandung vs Persija Jakarta di Stadion Siliwangi yang berkesudahan 1-3 bagi sang tamu dari Ibukota adalah cikal bakal api rivalitas buta dinyalakan,

Bukan soal kekalahan. Gesekan justru dimulai di luar stadion, saat itu banyak bobotoh yang tidak bisa masuk meskipun memiliki tiket. Pun dengan gerombolan Jakmania yang datang jauh-jauh menggunakan beberapa bus tidak bisa masuk. Kekecewaan yang berujung bentrok kian memuncak ketika Jakmania mengetahui jika ada bobotoh yang bisa masuk tanpa memegang tiket dengan cara menyogok petugas. Hal yang saat ini terlihat rumit itu faktanya dipicu oleh hal-hal sepele dimasa lalu.

Saya sepakat dengan apa yang dikatakan Eko Nur Kristiyanto (pengamat hukum olahraga), "Jangan terpaku hal-hal prosedural, saatnya membidik persoalan subtantif". Ya, betul ketika menggelar suatu pertandingan resmi klub tuan rumah harus memahami bagaimana cara mengendalikan pengamanan masa yang notabene ribuan, belasan ribu, hingga puluhan ribu.

Induk organisasi tertinggi dunia/FIFA sendiri tentunya punya regulasi yang mengatur hal tersebut dan tertuang dalam FIFA stadium Safety and Security Regulations. Dan Liga 1 punya standarisasi tersendiri bagi klub pesertanya, Security officer (SO) yang bertugas mengaplikasikan regulasi keamanan stadion, jadi bagian yang tak boleh terlewat saat verifikasi dilakukan.

Tupoksi dari SO sendiri diantaranya: wajib melakukan manajemen pengamanan mulai dari perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasi. Areal tugasnya pun tak jauh-jauh dari stadion, tribun, ruang wasit, ruang ganti, ruang media, arah pengendalian masa atau biasa disebut crowd management (biasanya punya batasan tugas di area khusus sampai pemeriksaan tiket) dan area publik/umum.

Persoalannya adalah saat insiden berlangsung tidak ada sinergi antara pihak keamanan dengan SO atau panpel tadi. Kemana aparat keamanan disaat pengeroyokan terjadi? namun saat kita terus bicara hal prosedural memang tak akan pernah selesai, artinya akan selalu ada pembelaan.

Dan hal demikian memang benar adanya, ketika pertanyaan ini mencuat, pihak kepolisian langsung mengeluarkan steatmen, jika saat kejadian tersebut personelnya terfokus pada jebolnya gerbang merah dan biru. Mereka merasa kewalahan karena jumlah pasukannya tak sebanding dengan masa yang datang 4000:60.000 orang.

Justru hal subtantif yang dikatakan Eko Maung sapaan Eko Nur Kristiyanto itulah yang kerap diabaikan, Kita sering lupa bahwa dibalik kelamnya pertumpahan darah yang terjadi di sepakbola nasional ada segmen permusuhan dan benci yang terus diregenerasi khususnya di akar rumput. Hal subtantif itulah yang mestinya disoroti.

Butuh solusi jangka pendek dan jangka panjang untuk mengatasi masalah kronis yang kini telah jadi isu kemanusiaan nasional. Solusi jangka pendeknya tidak lain adalah memperketat hal-hal prosedural tadi dengan cara memperketat keamanan dan jangka panjangnya ialah memutus rantai permusuhan atau mendamaikan kedua belah pihak.

Untuk solusi damai memang butuh proses panjang. Segala sesuatunya harus dimulai dari akar rumput, kelirunya kita ialah terlalu senang dengan cara cepat alias instan yang sama sekali tidak memberikan dampak, termasuk perdamaian yang dilakukan langsung dari petinggi-petinggi klub dan supporter. Cara-cara seperti itu yang membuat perdamaian terkesan dipaksakan, tidak benar-benar dari hati dan menyentuh rakyat kelas bawah dalam istilah politik.

Jika asal muasalnya permasalahan ini dipicu oleh hal-hal sepele kenapa kita tidak selesaikan juga dengan solusi-solusi sederhana? Salah satunya menyebar larangan nyanyian "dibunuh saja" dan chants rasis lainnya. Percuma deklarasi, ikrar damai, dan lain-lain jika dalam sebuah laga amal untuk Haringga dengan tema: "Rivalitas tanpa membunuh" saja masih nyaring nyanyian "dibunuh saja"!

Perlindungan Kata Oknum

Dalam KBBI daring, kata oknum berarti orang/anasir (dengan arti yang kurang baik) yang bertindak sewenang-wenang dan tidak bertanggung jawab. Jelas kata oknum tidak asing di telinga kita.

Dalam keseharian pun kita kerap mendengar kata "oknum" digunakan untuk memagari korps/organisasi dari busuknya seorang anggota sendiri yang berbuat kesalahan. Penggunaan kata oknum ini sering membuat sekelompok organisasi nyaman, karena anggota yang berbuat dosa itu mereka cap sebagai oknum dan bukan anggota mereka, semacam langkah pembelaan/cara membersihkan nama organisasi.

Pun di sepakbola, entah sudah berapa oknum yang saling bunuh. Padahal akui saja yang membunuh Rangga Cipta Nugraha adalah Jakmania, dan yang membunuh Haringga adalah Bobotoh. Agar dikemudian hari sekelompok supporter terkait bisa memiliki rasa saling memiliki. Artinya ketika melihat anarkisme dari orang-orang tak bertanggung jawab yang menggunakan atributnya sendiri mereka bisa meredam dan menjaga nama baik kelompoknya.

Masih mengenai kata oknum, Zen Rachmat Sugito (pendiri PanditFootball) punya sudut pandang tersendiri. "Untuk setiap aib yang tidak mungkin diakui, bahasa Indonesia menyediakan jalan keluar yang menyebalkan: oknum", tulisnya melalui akun twitternya @zenrs.

Kedepan kita harus memegang teguh prinsip: dosa supporter adalah dosa klub. Apapun yang dilakukan supporter akan berdampak pada klub yang mereka dukung. Maka dari itu, sudah semestinya media, pihak Persib, dan bobotoh sendiri meminggirkan kata oknum. Karena itu bisa menjadi bahan intropeksi dan edukasi paling efektif menurut saya, karena tanpa oknum membunuh adalah aib. Bukan dibiarkan!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun