Penulis memang menantikan jawaban mengenai alasan bapak tidak mau ke stadion. Akan tetapi, kenapa harus memahami dengan cara seperti ini lagi, berkali-kali dan diulang-ulang. Mengapa harus Haringga?
Solusi Damai
Setelah pengeroyokan sadis berujung tewasnya Ricko Andrean Maulana pada 27 Juli 2017, tensi permusuhan Jakmania dan Bobotoh sempat mengendur. Terjadi beberapa momen penting salah satunya adalah deklarasi damai kedua belah pihak dan juga titik sumbu perdamaian yang terus dijaga, termasuk saat Bung Ferry Indrasyarief selaku ketum Jakmania melabrak anggotanya sendiri di tribun yang dianggap memprovokasi.
Sayang sekali, ditengah aura positif, operator liga dan PSSI gagal mengawal jadwal match kedua (Persija vs Persib) musim lalu. Di musim ini pun mereka dengan mudahnya mengundur jadwal pertemuan pertama kedua tim yang kemudian digelar di Stadion PTIK Jakarta, akhir putaran pertama lalu. Ditengah ketidakpastian jadwal inilah pelan-pelan sumbu permusuhan kembali menyala. Media sosial khususnya linimasa twitter jadi wadah kedua belah pihak menumpahkan kekecewaannya termasuk saling serang/mengejek tim rival.
Semua berawal dari reaksi kecewa yang menyebabkan kesalahpahaman, tak terkecuali dengan sejarah awal permusuhan kedua kelompok supporter dari Jakarta dan Bandung ini. 19 tahun lalu disebuah pertandingan yang mempertemukan antara Persib Bandung vs Persija Jakarta di Stadion Siliwangi yang berkesudahan 1-3 bagi sang tamu dari Ibukota adalah cikal bakal api rivalitas buta dinyalakan,
Bukan soal kekalahan. Gesekan justru dimulai di luar stadion, saat itu banyak bobotoh yang tidak bisa masuk meskipun memiliki tiket. Pun dengan gerombolan Jakmania yang datang jauh-jauh menggunakan beberapa bus tidak bisa masuk. Kekecewaan yang berujung bentrok kian memuncak ketika Jakmania mengetahui jika ada bobotoh yang bisa masuk tanpa memegang tiket dengan cara menyogok petugas. Hal yang saat ini terlihat rumit itu faktanya dipicu oleh hal-hal sepele dimasa lalu.
Saya sepakat dengan apa yang dikatakan Eko Nur Kristiyanto (pengamat hukum olahraga), "Jangan terpaku hal-hal prosedural, saatnya membidik persoalan subtantif". Ya, betul ketika menggelar suatu pertandingan resmi klub tuan rumah harus memahami bagaimana cara mengendalikan pengamanan masa yang notabene ribuan, belasan ribu, hingga puluhan ribu.
Induk organisasi tertinggi dunia/FIFA sendiri tentunya punya regulasi yang mengatur hal tersebut dan tertuang dalam FIFA stadium Safety and Security Regulations. Dan Liga 1 punya standarisasi tersendiri bagi klub pesertanya, Security officer (SO) yang bertugas mengaplikasikan regulasi keamanan stadion, jadi bagian yang tak boleh terlewat saat verifikasi dilakukan.
Tupoksi dari SO sendiri diantaranya: wajib melakukan manajemen pengamanan mulai dari perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasi. Areal tugasnya pun tak jauh-jauh dari stadion, tribun, ruang wasit, ruang ganti, ruang media, arah pengendalian masa atau biasa disebut crowd management (biasanya punya batasan tugas di area khusus sampai pemeriksaan tiket) dan area publik/umum.
Persoalannya adalah saat insiden berlangsung tidak ada sinergi antara pihak keamanan dengan SO atau panpel tadi. Kemana aparat keamanan disaat pengeroyokan terjadi? namun saat kita terus bicara hal prosedural memang tak akan pernah selesai, artinya akan selalu ada pembelaan.
Dan hal demikian memang benar adanya, ketika pertanyaan ini mencuat, pihak kepolisian langsung mengeluarkan steatmen, jika saat kejadian tersebut personelnya terfokus pada jebolnya gerbang merah dan biru. Mereka merasa kewalahan karena jumlah pasukannya tak sebanding dengan masa yang datang 4000:60.000 orang.