Mohon tunggu...
Gilang Dejan
Gilang Dejan Mohon Tunggu... Jurnalis - Sports Writers

Tanpa sepak bola, peradaban terlampau apatis | Surat menyurat: nagusdejan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Menuntut Intervensi Terhadap Pelatih

8 Maret 2018   11:58 Diperbarui: 8 Maret 2018   16:35 1650
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. YouthSoccer

Kata intervensi begitu familiar di kalangan bobotoh Persib selama ini. Mengingat tuduhan tersebut mendekati fakta di lapangan. Beberapa pihak yang tidak punya wewenang di staff kepelatihan terindikasi menggunakan powernya untuk mengintervensi. Dalam hal ini khususnya intervensi terhadap pelatih.

Ada dugaan pihak yang mencampuri dapur pelatih menitipkan pemain sampai menggerecoki kuasa pelatih lainnya, seperti ikut menyumbangkan pemikiran soal strategi. Bukan hanya di Persib, ternyata dunia sepak bola bagian kepelatihan khususnya kerap disuguhi drama intervensi dari pihak-pihak yang kurang bertanggung jawab.

Jika di sepak bola profesional intervensi tercampuri oleh tekanan dari fans/supporter klub. Lain lagi dengan yang terjadi di sepak bola amatir/sepak bola akar rumput alias level pembinaan. Orang tua punya power untuk mengintervensi pelatih maupun anaknya sendiri (baca: pemain).

Sekitar satu tahun lebih penulis aktif di sepak bola akar rumput sebagai pelatih. Hanya saja, masih terbentur soal lisensi kepelatihan. Minimal pelatih SSB/Akademi/PS itu sudah mempunyai lisensi level D nasional alias level awal/kelas satu. Sedangkan saya belum mengambil kursus lisensi tersebut. Dengan begitu, saya menjadi orang yang paling sering diintervensi oleh orang tua siswa SSB.

Intervensi menjadi mimpi buruk bagi pelatih manapun. Hak/kuasa dalam melatih dirampas. Pelatih jadi tak punya kebebasan dalam memilih konten. Baik itu memilih pemain maupun strategi.

Menolak Profesional

Tim sekelas Persija Jakarta, Sriwijaya FC, Borneo FC, dan lainnya tidak menutup kemungkinan terjadi praktik intervensi terhadap pelatih mengingat kerasnya persaingan di Level Profesional. Manajemen selalu menawarkan komposisi terbaik. Memang rekomendasi itu hal yang diwajarkan. Tentang bagaimana manajemen merekomendasikan pemain kepada pelatih akan tetapi jika tidak cocok dengan rencana tim pelatih boleh menolak tawaran manajemen.

Berbeda dengan intervensi yang terkesan memaksakan pemain yang direkomendasikan manajemen wajib diterima oleh pelatih. Cocok tidak cocok, pelatih harus mau menerima pemain yang bersangkutan. Lebih mendekati kepada isu pemain titipan.

Intervensi pihak luar terjadi karena beberapa hal. Bisa karena tekanan dari target yang sudah dibuat, semisal manajemen klub pro yang mendapat tekanan dari fans untuk juara, mereka akhirnya terpaksa turun tangan mencampuri urusan pelatih. Ketika kalah, seolah tekanan makin membesar sehingga kepercayaan terhadap pelatih kian menyempit.

Bisa jadi pula karena minimnya pengetahuan soal LOFG (baca: Law Of The Games) di lapangan. Bagaimana mungkin seorang manajer, komisaris, direktur, dan pejabat klub duduk di bench. Bahkan, bos klub bisa berteriak memberi intruksi di tactical area. Itu karena minimnya pemahaman mengenai LOFG tadi.

Jika dicermati, hal ini cukup mengganggu ketertiban pertandingan. Sejatinya orang-orang yang duduk di bench itu yang memang fasih betul LOFG. Karena besar kemungkinan saat terjadi perbedaan pandangan di lapangan orang yang duduk di bench itu bisa memahami.

Jelas ini bisa memicu menjalarnya perbedaan paham dilapangan. Ketika manajemen/petinggi klub duduk dibench pemain sejatinya mereka tidak mengikuti technical meeting yang diselenggarakan panitia sebelum pertandingan. Atas dasar itulah sepakbola kita kerap kurang dewasa dalam menyikapi perbedaan sudut pandang dilapangan.

Contoh saja saat Persib melakukan aksi Walk Out ketika melawan Persija Jakarta. Pada dasarnya manajemen Persib tidak berniat W.O sama sekali, ia hanya menarik para pemainnya untuk diskusi. Namun dalam LOFG hal semacam itu dibenarkan sebagai aksi mengundurkan diri dari pertandingan.

Banyak dampak negatif saat orang-orang yang tidak berkepentingan duduk di bench. Selain soal intervensi dan bisa memicu perbedaan sudut pandang karena tidak memahami LOFG. Hal demikian juga menjabarkan sepak bola level atas kita jauh dari kata profesional. Sepak bola level bawah juga bisa meniru hal negatif tersebut.

Semakin manajemen/pejabat klub dekat dengan pemain di bench saat pertandingan. Semakin tidak nyaman pula seorang pelatih dalam menjalankan tugasnya. Ada petinggi klub yang sampai rela mengganti jabatannya menjadi kitman tim dalam DSP (Daftar Susunan Pemain, red) hanya karena ingin duduk di bench pemain.

Bisa jadi juga karena kebiasaan. Beberapa kali PT. Liga melalui komdis mengingatkan jika yang berhak duduk di bench pemain diatur dalam LOFG. Dan yang berhak duduk di sana hanya orang yang berkepentingan terhadap area tactical. Hal tersebut diatur dalam Bench Team dan Area Tactical saat manajer meeting sebelum kompetisi digulirkan. Adapun yang berhak menempati bench antara lain: Staff kepelatihan, pemain cadangan, kitman, masseur, dan physioterapist/dokter tim. Sebetulnya LOFG FIFA memperbolehkan manajer duduk di bench namun ada perbedaan paham antara manajer di Indonesia dengan di Inggris dan negara sepakbola lainnya.

Di DSP tidak ada larangan CEO, manajer, atau pemilik klub untuk duduk di bench cadangan. Karena yang diatur dalam regulasi ini hanya jumlah orang yang duduk, bukan siapa-siapa saja yang duduk. Dalam regulasi ACL pasal 18 ayat 1 membolehkan maksimal 11 official dan maksimal tujuh pemain cadangan untuk duduk di bench selama pertandingan berlangsung asalkan mereka memiliki kartu akreditasi yang sesuai.

Akan tetapi, di liga kita hal tersebut menjadi keliru untuk dipahami. Tak jarang para petinggi klub mengakali agar mereka bisa duduk sejajar dengan pemain dan official tim, dari mereka, seperti yang sudah saya sebutkan tadi ada yang sampai rela mengganti jabatannya dari pejabat klub menjadi kitman tim dalam DSP.

PT.Liga juga tak tinggal diam dengan isu ini. Musim lalu komdis menerapkan regulasi yang diatur dalam pasal 28 tentang Team Bench dan Technical Area. Dimana jumlah denda untuk pemilik klub yang duduk di bench sebesar 20 juta.

Namun untuk musim ini, PT. Liga akan lebih tegas menertibkan bench pemain yang selalu dipenuhi oleh orang-orang yang tidak berkepentingan di area technic. Melalui Chief Operating Officer (COO) PT. Liga Indonesia Baru (PT.LIB), Tigor Shalomboboy, pihaknya akan memperbesar jumlah denda menjadi 50 juta untuk bos-bos yang kedapatan duduk di bench saat pertandingan Liga 1 2018 berlangsung.

"Pemilik kkub yang masih berada di bench pada musim 2018 akan didenda Rp. 50 juta", kata Tigor. "Sudah setiap tahun kami utarakan kepada klub soal hal ini. Ya, mungkin karena di Piala Presiden 2018 saja tidak kena denda. Ini mengganggu dan tidak lucu", lanjutnya.

Akankah rasa ngeyel para petinggi klub perlahan mulai luntur dengan regulasi baru ini. Kita sudah tahu sama tahu, sepakbola nasional selalu keras kepala dengan regulasi yang berusaha membuat mereka profesional. Seperti semau aing (baca: semau saya) dalam menjalankan klub/kompetisi.

Padahal ketertiban di bench memengaruhi banyak hal, selain agar terlihat profesional juga supaya tidak ada gangguan terhadap kinerja staff pelatih maupun para pemain dilapangan bahkan kalau kita suudzon bisa jadi bos-bos yang duduk di bench melakukan malapraktik pengaturan skor dengan para pemainnya. Ini yang dikeluhkan para pelatih maupun pemain. Klub-klub nasional acapkali seolah menolak profesional dengan melanggar regulasi semaunya.

Liga 1 adalah Role Model

Sebagai kompetisi tertinggi di tanah air, sudah semestinya Liga 1 menjadi contoh bagi klub-klub amatir di bawahnya juga untuk sepakbola akar rumput. Kembali lagi, sebagai stakeholder sepakbola akar rumput penulis merasa apa yang dipertontonkan dipertandingan Liga 1 akan ditiru oleh siswa SSB bahkan orang tua siswa itu sendiri.

Seharusnya Liga 1 menjadi sarana edukasi bagi para orang tua SSB dan pemain. Karena itulah, intervensi dari ortu siswa kian menjamur di pembinaan usia dini. Bagaimana mereka yang menyumbang lebih saat turnamen ingin selalu duduk di bench, bahkan selalu terjadi cekcok antar ortu siswa satu dengan lainnya hanya karena ingin lebih dekat memotivasi anaknya di bench pemain.

Alasan mereka tak jauh dari tim-tim nasional yang berlaga di level atas ketika ditegur untuk tidak usah ikut turun ke bench. "Toh pak Haji Umuh saja bisa duduk di bench, jadi bukan hanya staff pelatih kan yang bisa mendampingi tim?", ungkap salah satu ortu siswa.

Ada juga yang mengintervensi dari kejauhan, mereka ingin anaknya bermain lebih hingga pada satu pertandingan sang anak menitipkan ampau kepada saya (sebagai pelatih). Hal-hal demikian tentu saja mencederai nilai-nilai pembinaan sepak bola usia dini. Tak seharusnya suap menyuap terjadi di sepak bola akar rumput. Biarkan mereka berkembang sesuai dengan kemauan dan kemampuannya sendiri. Intervensi di sepak bola akar rumput justru lebih rumit dari level pro menurut saya. Selain hal yang sudah dijelaskan di atas. Tak jarang pula ortu siswa berteriak-teriak di tribun.

Ini yang paling mengganggu, ketika anak mereka memegang bola selalu ada teriakan "Tendang jauh kedepan dek", lalu anaknya menendang bola tersebut jauh-jauh ke depan alias sapu bersih, setelah itu mereka berteriak makin keras seolah kegirangan dan bangga melihat anaknya menendang bola jauh-jauh. Padahal kita sebagai pelatih mengajarkan build up dalam latihan, memulai serangan dari bawah, dari kaki ke kaki. Karena saat semakin banyak pemain menyentuh bola dan melakukan passing maka semakin bagus pula untuk pembelajaran dan perkembangan si pemain.

Intervensi dan menyalahkan pelatih tak berhenti sampai fase itu saja, ketika anak mereka menuruti perkataan pelatih untuk build up dan membangun serangan dari bawah. Satu ketika si pemain blunder dengan melakukan error passing/stop ball, lalu lawan berhasil memanfaatkan kemelut tersebut menjadi gol.

Beberapa ortu justru menyalahkan pelatih, "Kata saya juga apa, jangan main-main di area pertahanan sendiri. Saya jadi ragu sama kemampuan melatih kamu", salah seorang ortu siswa menggerutu kepada saya. Hal demikian menjadi biasa, seolah di mata mereka kemenangan adalah segalanya, padahal hakikatnya sepak bola usia dini itu soal progres. Kemenangan menjadi nomor kesekian.

Belum lagi jika anak mereka bermain lebih sedikit dari anak-anak lainnya. Padahal pelatih lebih tahu kebutuhan tim seperti apa. Tak sedikit ortu yang menghardik dalam situasi seperti ini. Jauh sebelum turnamen pun ortu siswa banyak yang seolah demo tidak menerima keputusan pelatih, "Kenapa anak saya dicoret, padahal anak saya selalu latihan dan saya juga sama bayar iuran bulanan".

Semua menjadi rumit, pelatih yang kesehariannya bersama pemain pada akhirnya menjadi kambing hitam. Jika tak ada regulasi pembatasan pemain kami pun tidak akan mencoret pemain yang bersangkutan. Sejatinya kami hanya memilih pemain dari kemampuan/kualitasnya. Karena memang, ada yang sudah siap berkompetisi, ada juga yang belum siap melakukannya.

Belum lagi saat ada dermawan dari ortu siswa yang sudi memberikan bantuan baik berupa satu set jersey maupun berupa uang untuk memenuhi kebutuhan pelatihan SSB. Di sana intervensi kian membesar, karena mereka menuntut feedback alias timbal balik agar anaknya dispesialkan di SSB.

Masih banyak lagi intervensi terhadap pelatih dari ortu pemain SSB. Mungkin butuh dua part tulisan untuk menjabarkan bagaimana intervensi itu terjadi. Ada yang bilang jika menjadi pelatih SSB itu lebih sulit daripada menjadi pelatih level pro, karena melatih SSB itu meletakan dasar-dasar bermain sepak bola. Sedangkan, di level pro pelatih hanya mengasah kemampuan yang sudah diasah sebelumnya di akademi maupun amatir. Itu tidak benar.

Karena yang namanya melatih itu sama beratnya, mereka mendapat perlakuan sama dalam hal intervensi. Tak masalah bagi kami jika manajemen menuntut target asalkan tuntutan kami sebagai pelatih yang ingin diberi kebebasan dalam menggunakan kuasa melatih dikabulkan. Jika Anda punya uang banyak dan berminat membeli klub maka jangan menggerecoki dapur pelatih. Biarkan seorang pelatih memilih konten sesuai dengan kebutuhan strategi dan rencana timnya, beri dia kebebasan selapang-lapangnya.

Duduk manis saja di tribun kehormatan, nikmati pertandingan, bebaskan kami dalam bekerja, dan percayakan bahwa pelatih punya program latihan dan kami tidak pernah bekerja secara leha-leha. Ada sebuah kondisi dimana otak kami sebagai pelatih tersita oleh urusan klub. Ketika pemain beristirahat selepas latihan atau pertandingan kami tetap bekerja untuk mengevaluasi hasil latihan ataupun pertandingan.

Dalam level apapun, hal yang paling menyebalkan itu ketika diintervensi oleh orang lain. Pelatih sekelas Djanur pun sampai sempat menghardik ketika Ia diintervensi secara berlebihan: "Sok we latih ku sia" (Silahkan saja latih oleh Anda, red).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun