Belum lagi saat ada dermawan dari ortu siswa yang sudi memberikan bantuan baik berupa satu set jersey maupun berupa uang untuk memenuhi kebutuhan pelatihan SSB. Di sana intervensi kian membesar, karena mereka menuntut feedback alias timbal balik agar anaknya dispesialkan di SSB.
Masih banyak lagi intervensi terhadap pelatih dari ortu pemain SSB. Mungkin butuh dua part tulisan untuk menjabarkan bagaimana intervensi itu terjadi. Ada yang bilang jika menjadi pelatih SSB itu lebih sulit daripada menjadi pelatih level pro, karena melatih SSB itu meletakan dasar-dasar bermain sepak bola. Sedangkan, di level pro pelatih hanya mengasah kemampuan yang sudah diasah sebelumnya di akademi maupun amatir. Itu tidak benar.
Karena yang namanya melatih itu sama beratnya, mereka mendapat perlakuan sama dalam hal intervensi. Tak masalah bagi kami jika manajemen menuntut target asalkan tuntutan kami sebagai pelatih yang ingin diberi kebebasan dalam menggunakan kuasa melatih dikabulkan. Jika Anda punya uang banyak dan berminat membeli klub maka jangan menggerecoki dapur pelatih. Biarkan seorang pelatih memilih konten sesuai dengan kebutuhan strategi dan rencana timnya, beri dia kebebasan selapang-lapangnya.
Duduk manis saja di tribun kehormatan, nikmati pertandingan, bebaskan kami dalam bekerja, dan percayakan bahwa pelatih punya program latihan dan kami tidak pernah bekerja secara leha-leha. Ada sebuah kondisi dimana otak kami sebagai pelatih tersita oleh urusan klub. Ketika pemain beristirahat selepas latihan atau pertandingan kami tetap bekerja untuk mengevaluasi hasil latihan ataupun pertandingan.
Dalam level apapun, hal yang paling menyebalkan itu ketika diintervensi oleh orang lain. Pelatih sekelas Djanur pun sampai sempat menghardik ketika Ia diintervensi secara berlebihan: "Sok we latih ku sia" (Silahkan saja latih oleh Anda, red).